Bacteriophagesatau Bakteriofag, yakni virus yang menginfeksi bakteri. Salah satu virus dari Laut Utara di lepas pantai Pulau Helgoland, Jerman, virus ini disebut Peternella. Salah satu virus yang dipelajari peneliti untuk meneliti kehidupan virus laut. (Georg Krohne via PHYS) Penulis Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas | ArticlePDF AvailableAbstract and FiguresPenyakit ice-ice merupakan masalah utama dalam budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii yang menimbulkan kerusakan pada permukaan thallus. Penyebarannya sangat cepat dan dapat menimbulkan kematian, sehingga mengakibatkan kerugiaan yang cukup besar dalam budidaya. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman, menular dan disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri. Tujuan penelitian ini adalah melakukan identifikasian bakteri penyebab penyakit ice-ice berdasarkan musim tanam. Penelitian dilakukan di laboratorium hama dan penyakit Balai Budidaya Laut Ambon. Isolasi bakteri diambil dari thallus yang terserang penyakit ice-ice dan dari sampel air lokasi budidaya selanjutnya identifikasi dengan menggunakan metode uji biokimia. Hasil penelitian menunjukan bakteri yang menginfeksi rumput laut di perairan Maluku Tenggara pada lokasi Sathean yaitu bakteri Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis, Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens sedangkan bakteri yang terdapat di perairan adalah bakteri Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens. Pada musim tanam ke III-IV periode April-Juli. Untuk lokasi Letvuan jenis bakteri yang ditemukan adalah bakteri Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis,. pada musim tanam VII-VIII periode Oktober-November. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka disimpulkan bahwa Bakteri dominan yang menginfeksi rumput laut di perairan Maluku Tenggara adalah dari genus Pseudomonas dan Vibrio serta terjadi pada musim pancarobah atau musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau periode April-Juli. Content may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Jurnal Akuatika Indonesia Vol. 3 No. 1/ Maret 2018 19-25 ISSN 2528-052X Identifikasi Bakteri Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Berdasarkan Musim Tanam di Perairan Maluku Tenggara Identification Bacteria Kappaphycus alvarezii Based on Planting Season at South Eeast Mollucas Nally. Erbabley1, Dominggas M. Kelabora2 1Program Studi Teknologi Budidaya Perikanan Politeknik Perikanan Negeri Tual 2Program Studi Teknologi Budidaya Perikanan Politeknik Perikanan Negeri Tual Jln. Raya langgur-Sathean, Km 6. Kab Maluku Tenggara 97611 Tlp/Fax 0916 21377 ; PO Box 1001 E-mail korespondensi nallyerbabley Abstrak Penyakit ice-ice merupakan masalah utama dalam budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii yang menimbulkan kerusakan pada permukaan thallus. Penyebarannya sangat cepat dan dapat menimbulkan kematian, sehingga mengakibatkan kerugiaan yang cukup besar dalam budidaya. Kejadian penyakit ice-ice bersifat musiman, menular dan disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri. Tujuan penelitian ini adalah melakukan identifikasian bakteri penyebab penyakit ice-ice berdasarkan musim tanam. Penelitian dilakukan di laboratorium hama dan penyakit Balai Budidaya Laut Ambon. Isolasi bakteri diambil dari thallus yang terserang penyakit ice-ice dan dari sampel air lokasi budidaya selanjutnya identifikasi dengan menggunakan metode uji biokimia. Hasil penelitian menunjukan bakteri yang menginfeksi rumput laut di perairan Maluku Tenggara pada lokasi Sathean yaitu bakteri Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis, Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens sedangkan bakteri yang terdapat di perairan adalah bakteri Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens. Pada musim tanam ke III-IV periode April-Juli. Untuk lokasi Letvuan jenis bakteri yang ditemukan adalah bakteri Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis,. pada musim tanam VII-VIII periode Oktober-November. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka disimpulkan bahwa Bakteri dominan yang menginfeksi rumput laut di perairan Maluku Tenggara adalah dari genus Pseudomonas dan Vibrio serta terjadi pada musim pancarobah atau musim peralihan dari musim hujan ke musim kemarau periode April-Juli. . Kata Kunci Identifikasi Bakteri, Penyakit ice-ice, Musim Tanam Abstrack Ice-Ice disease is a main problem in the cultivation of seaweed Kappaphycus alvarezii which causing damage on the surface of the thallus. The spread is very rapid and cause death so can cause big loss in cultivation. Insidence of Ice-Ice disease are seasonal, contagious and caused by secondary bacterial infection. The purpose of this study is to identify the bacteria that cause ice-ice disease based on the growing season. The research was conducted in pest and disease laboratory of Ambon Sea Aquaculture Center. Bacterial isolation was taken from the ice-ice disease thallus and from the water sample of the cultivation location further identification using the biochemical test method. The results showed bacteria that infect seaweed in the waters of Southeast Maluku at the location of Sathean are bacteria Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis, Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens while bacteria in the waters are bacteria Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens. For the location Letvuan type of bacteria found is bacteria Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis,. In the planting season to III-IV period April-July, many bacteria are found to infect seaweed in the waters of Southeast Mollucas. Based on the results obtained it is concluded that the dominant bacteria that infect seaweed in the waters of Southeast Maluku is from the genus Pseudomonas and Vibrio occur in transition season from the rainy season to the dry season April-July period. Keywords Bacterial Identification, Ice-ice Disease, Planting Season Nally. Erbabley Identifikasi Bakteri Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Berdasarkan Musim Tanam di Perairan Maluku Tenggara Pendahuluan Rumput laut seaweeds merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang mempunyai prospek cerah karena memiliki nilai penting bagi masyarakat. Aspek penting dan karakteristik menguntungkan yang berkaitan dengan pengembangan budidaya rumput laut ini antara lain meliputi aspek ekonomi, terutama dimanfaatkan sebagai bahan pangan seperti lalapan, sayur, acar, manisan, kue dan obat Anggadireja dkk, 2011. Keberhasilan budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kesesuaian lahan, penguasaan teknologi budidaya, dan musim tanam. Masalah yang sering dihadapi oleh pembudidaya rumput laut adalah pertumbuhan yang kurang optimal dan hasil panen yang menurun serta penyediaan benih yang tidak kontinyu pada bulan-bulan tertentu karena perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim Supatno dkk, 2010. Permasalahan lain yang sering timbul pada usaha budidaya rumput laut yaitu adanya serangan penyakit ice-ice. Dengan gejala umumnya ditandai dengan pemutihan pada bagian pangkal thallus, tengah dan ujung thallus muda, yang diawali dengan perubahan warna thallus menjadi putih bening atau transparan DKP, 2004. Penyakit yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah penyakit bakterial, yaitu penyakit “ice-ice”/white spot. Penyakit “ice-ice” merupakan kendala utama budidaya rumput laut Kappaphycus yang terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan seperti arus yang lemah, suhu yang sangat tinggi, defisiensi nutrient dan kecerahan perairan. Kecerahan air yang sangat tinggi akibat rendahnya kelarutan unsur hara Nitrat dan Phosfat dalam perairan juga merupakan penyebab munculnya penyakit tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Largo., et al 1995 bahwa penyebab penyakit ice-ice karena perubahan lingkungan yang tidak sesuai untuk pertumbuhan sehingga mengakibatkan menurunnya daya tahan rumput laut. Selanjutnya Musa dan Wei 2008 mengatakan bahwa terjadinya penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen tertentu. Keberadaan bakteri-bakteri tersebut bukan menjadi penyebab utama terjadinya penyakit ice-ice pada tallus, tetapi hanya merupakan penyebab kedua secondary impact. Kemungkinan efektifitas serangan bakteri hanya terjadi pada saat pertumbuhan tanaman terhambat serta stress yang diakibatkan perubahan kondisi lingkungan yang mendadak seperti perubahan salinitas, suhu dan intensitas cahaya. Kabupaten Maluku Tenggara terletak pada posisi 5Âș - 6,5Âș Lintang Selatan dan 131Âș - 133,5Âș Bujur Timur, terdiri atas 1 gugusan Kepulauan yaitu Gugusan Kepulauan Kei yang terdiri atas Kepulauan Kei Kecil dengan Luas seluruhnya 722,62 KmÂČ dan Pulau Kei Besar dengan Luas 550,05 KmÂČ. Iklim perairan Maluku Tenggara dipengaruhi oleh Laut Banda, Laut Arafura dan Samudera Indonesia juga dibayangi oleh Pulau Irian di Bagian Timur dan Benua Australia di Bagian Selatan, sehingga sewaktu-waktu terjadi perubahan. Musim Timur berlangsung dari bulan April sampai Oktober dimana musim ini adalah musim Kemarau. Musim Barat berlangsung dari bulan Oktober sampai Februari. Musim hujan pada bulan Desember sampai Februari dan yang paling deras terjadi pada bulan Desember dan Februari yang berakibat terhadap perubahan kondisi perairan Maluku Tenggara. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis bakteri pada K. Alvarezii yang terserang penyakit ice-ice berdasarkan musim tanam pada lokasi yang berbeda. Bahan Dan Metode Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel Sampel diambil dari lokasi budidaya rumput laut di perairan Sathean dan Letvuan Kabupaten Maluku Tenggara, masing-masing sebanyak 100 gr. Sampel air diambil bersamaan dengan pengambilan sampel rumput laut. Metode Penanganan Sampel Sampel diambil dari bagian ujung thallus dan pangkal rumput laut yang, terserang penyakit ice-ice yang diambil dari lokasi budidaya, dari varietas colkat yang diberi kode RLC dan varietas hijan yang diberi kode RLH dari perairan Sathean dan perairan Letvuan. Sampel disimpan dalam cool box yang telah diberi es balok untuk dibawa ke Laboratorium Balai Budidaya Laut Jurnal Akuatika Indonesia Vol. 3 No. 1/ Maret 2018 19-25 ISSN 2528-052X Ambon. Selanjutnya sampel rumput laut yang terinfeksi bakteri akan dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan secara insitu pada lokasi budidaya, dengan menggunakan alat Automatic Watersample dan Digital Instruments. Parameter yang diuji adalah pH air, DO Dissolved Oxygen, suhu, salinitas. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Isolasi awal dilakukan pada media TCBS thiosulphate citrate bile salt sucrosa agar dan media TSA thiosulphate sucrosa agar masing-masing sebanyak 10 plate yang mana masing-masing plate diisolasi dari bagian ujung dan pangkal rumput laut yang mengalami pemutihan, dengan tujuan untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab penyakit, kemudian plate-plate tersebut diinkubasi pada suhu 28 0C selama 24 jam untuk pengamatan pertumbuhan bakteri pada media. Selanjutnya dilakukan isolasi murni dengan cara, mengambil koloni bakteri dengan menggunakan jarum ose dari sampel isolasi awal, dengan berpatokan pada nomor isolat dan di isolasi pada media tanam TCBS, GSP, Kanamicyn dan diisolasi pada suhu 35 0C selama 24 jam. Setelah 24 jam selanjutnya dilakukan isolasi ke media biokimia yang meliputi Test Oksidase, Test Katalase, Test OF Oksidasi-Fermentasi, Test Citrat, Test TSI Triple Segar Iron Agar, Uji Indol, Test Produksi Asam dari Beberapa Karbohidrat Sukrosa, L-Arabinosa, D-Glukosa, D-Mannitol dan Myo-Inositol. untuk mengidentifikasi jenis bakteri yang menyerang rumput laut dan sampel air dengan menggunakan petunjuk identifikasi menurut Cowan. 1981 serta Krieg, dan John. G. Hold 1984. Hasil Dan Pembahasan Isolasi untuk identifikasi bakteri diambil dari rumput laut varietas coklat RLC dan varietas hijau RLH dari lokasi Sathean dan Letvuan perairan Maluku Tenggara, disertai dengan sampel air dari lokasi penelitian. Tanda-tanda rumput laut yang terserang penyakit bakteri pada kedua lokasi cenderung sama yaitu perubahan pada thallus berwarna putih, produksi lendir berlebihan, patah dan terkelupas pada bagian thallus, pertumbuhan lambat dan bentuk thallus tidak normal. Uji presumtif dilakukan pada kedua varietas dengan tujuan untuk memudahkan dalam tahap identifikasi, dengan mengetahui genus dari bakteri yang ditumbuhkan. Pengujian yang dilakukan meliputi uji gram untuk mengetahui apakah bakteri bersifat gram positif atau gram negative, uji katalase dan uji oksidase Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil karakteristik dan identifikasi bakteri terhadap isolat bakteri yang diisolasi dari rumput laut yang terserang penyakit ice-ice dapat terlihat pada Tabel 1. Pengujian Presumtif Table 1. Precision Testing Ket RLS=Rumpul Laut Sathean, RLL=Rumput Laut Letvuan Tabel 2. Identifikasi Bakteri Rumput Laut Yang Terserang Ice-Ice Table 2. Identification of Ice-Ice Seaweed Bacteria Total Bakteri koloni/mL Nally. Erbabley Identifikasi Bakteri Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Berdasarkan Musim Tanam di Perairan Maluku Tenggara Total Bakteri koloni/mL Sumber Diolah dari data primer Tabel 2, memperlihatkan jenis bakteri yang dominan lokasi Sathean di dominasi oleh bakteri Vibrio algynolyticus, sebaliknya pada lokasi Letvuan didominasi oleh bakteri Pseudomonas fluorescens, hal ini terlihat dari total jumlah bakteri koloni/mL tiap-tiap bakteri yang diperoleh. Hail identifikasi pada sampel air laut menunjukan bakteri yang sama juga ditemukan pada sampel air laut, hal ini menunjukkan adanya indikasi bahwa bakteri yang diisolasi dari air laut dapat menginfeksi ujung thallus rumput laut yang telah putus dan luka sehingga tidak bisa lagi tumbuh thallus yang baru, bahkan semakin membuat tallus menjadi busuk. Sedangkan Jenis bakteri yang dominan diisolasi dari air laut dan rumput laut yang terserang penyakit ice-ice adalah Pseudomonas sp, dan Aeromonas faecalis. Penelitian lain terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi Pusat Penelitian Oseanografi P2O LIPI dan hasilnya diduga ada delapan jenis bakteri yang menimbulkan penyakit ice-ice, namun patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari delapan bakteri tersebut yang hasilnya menunjukan hanya lima bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice-ice. Lima bakteri tersebut adalah Pseudomonas fluorescens, P. nigricaciens, vibrio granii, Bacillus cereus, dan V. agarliquefaciens. Sedangkan P. gelatica, P. ichtyodermis dan B. megaterium tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice-ice. Bakteri yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah V. Agarliquefaciens Nasution, 2005. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Saraswati 2016 juga menemukan bakteri yang menginfeksi rumput laut Eucheuma spinosum pada perairan pantai Kutuh Bali, didominasi oleh bakteri V. algynolyticus dan Hasil penelitian lain yang dilakukan berdasarkan teknik isolasi dan sekuensing 16S-rRNA telah diidentifikasi beberapa jenis bakteri yang berkembang dalam perairan yang juga teridentifikasi dalam tallus rumput laut yang terserang penyakit ice-ice di perairan Sulawesi Selatan. Walaupun demikian disimpulkan bahwa keberadaan bakteri-bakteri tersebut bukan menjadi penyebab utama terjadinya penyakit ice-ice pada thallus, tetapi hanya merupakan penyebab kedua secondary impact. Hanna et al. 1992 dalam Saraswati 2016, mengatakan bahwa V. alginolyticus merupakan bakteri berbentuk basil batang dan bersifat motil dapat bergerak, berhabitat alami di lingkungan akuatik dan umumnya berasosiasi dengan bakteri dari spesies vibrio secara langsung dan akan menimbulkan penyakit pathogen, yang dapat menyebabkan kematian biota laut dan secara tidak langsung bakteri yang terbawa biota laut seperti ikan dan rumput laut akan dikonsumsi oleh manusia, sehingga menyebabkan penyakit pada manusia. Lebih lanjut dikatakan Pseudomona sp termasuk bakteri gram negatif. Bakteri ini bersifat aerob, katalase positif, oksidase positif, tidak mampu memfermentasi tetapi dapat mengoksidasi glukosa/karbohidrat lain, tidak Jurnal Akuatika Indonesia Vol. 3 No. 1/ Maret 2018 19-25 ISSN 2528-052X berspora, tidak mempunyai selubung sheat dan mempunyai flagel monotrika flagel tunggal pada kutub sehingga selalu bergerak. Pseudomonas sp merupakan patogen utama bagi manusia, bakteri ini kadang-kadang mengkoloni pada manusia dan menimbulkan infeksi apabila fungsi pertahanan inang abnormal. Bakteri P. fluorescens termasuk dalam golongan bakteri thermofilik yaitu bakteri yang berkembang di suhu tinggi, tumbuh dalam sumber air panas, tanah padang pasir, dan spa. Selanjutnya dilakukan pengamatan bakteri berdasarkan musim tanam pada lokasi penelitian, hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis bakteri Yang Ditemukan Berdasarkan Musim Tanam Table 3. Type of Bacteria Found Based on Planting Season Jenis Bakteri Sel/koloni Pseudomonas stutzeri Aeromonas faecalis Pseudomonas stutzeri Aeromonas faecalis Vibrio alginolitycus Pseudomonas flurescens V – VI Agustus – September Aeromonas faecalis Vibrio alginolitycus Pseudomonas flurescens VII- VIII Oktober – Desember Aeromonas faecalis Vibrio alginolitycus Pseudomonas flurescens Pseudomonas stutzeri Aeromonas faecalis Hasil pengamatan infeksi bakteri pada rumput laut berdasarkan musim tanam, ditemukan bahwa pada musim tanam ke III-IV periode April-Juli, bakteri banyak menginfeksi rumput laut pada lokasi Sathean, hal ini diduga akibat perubahan musim dari musim hujan ke musim kemarau yang berpengaruh kepada perubahan kandungan nutrien di perairan Sathean. Sedangkan untuk lokasi Letvuan terjadi pada musim tanam VII-VII periode Oktober-Desember. disebabkan karena pada periode ini intensitas hujan yang turun cukup tinggi sehingga memungkinkan terjadinya perubahan kandungan nutrien dalam perairan dan penurunan salinitas perairan. Air hujan yang masuk ke perairan mengandung kandungan NO3 nitrat sebesar 2 % yang juga sangat berpengaruh terdapat proses pertumbuhan thallus rumput laut Effendi, 2000. Pola atau kalendar musim tanam rumput laut dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan perairan dan kondisi iklim klimatologi dan meteorologi. Kondisi iklim yang paling diperhatikan dalam penyusunan kalendar musim tanam rumput laut adalah musim panas dan penghujan. Intensitas curah hujan yang sangat tinggi akan memengaruhi kondisi salinitas perairan berupa turunnya nilai salinitas yang sesuai untuk budidaya rumput laut. Rumput laut jenis K. alvarezii merupakan rumput laut yang tidak tahan terhadap kisaran salinitas yang lebar. Salinitas yang sesuai untuk pertumbuhannya adalah 28-35 ppt, namun pertumbuhan optimal dicapai pada salinitas 32-35 ppt Sudradjat, 2009; Parenrengi et al., 2011. Menurut Neksidin 2013, perubahan salinitas yang lebih rendah berpengaruh terhadap proses osmoregulasi pada rumput laut. Pada saat salinitas perairan rendah terjadi proses penyerapan air oleh rumput laut lebih banyak, akibatnya kondisi rumput laut menjadi rapuh dan secara perlahan akan rontok. Kondisi seperti ini sering terjadi pada waktu musim penghujan. Rendahnya salinitas perairan kurang dari 20 ppt juga dapat memicu terjadinya peyakit ice-ice. Sebaliknya musim panas yang berkepanjangan yang mengakibatkan suhu air laut meningkat mencapai sekitar 330C-350C yang disertai dengan kondisi arus dan Nally. Erbabley Identifikasi Bakteri Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Berdasarkan Musim Tanam di Perairan Maluku Tenggara kecerahan yang kurang mendukung dapat juga menyebabkan timbulnya penyakit ice-ice atau dikenal juga dengan nama white spot Pong-Masak et al., 2009; Parenrengi et al., 2011. Menurut Santoso, dkk 2008, penyakit ice-ice pada tanaman rumput laut terjadi karena infeksi mikroba pada saat rumput laut menjadi rentan. Kondisi rentan ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrim dan tidak dapat ditolelir sehingga tanaman menjadi lemah tidak sehat. Melemahnya rumput laut ditandai dengan cabang-cabang tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan kaku serta permukaan thallus menjadi kasar. Pada keadaan stress rumput laut akan membebaskan substansi organik yang menyebabkan thallus berlendir dan merangsang bakteri tumbuh melimpah. Pemantauan selama satu tahun menunjukkan bahwa pola musim tanam ini tidak sama setiap lokasi tergantung pada karakteristik iklim yang dapat mempengaruhi kondisi perairan setempat. Penerapan pola musim tanam yang baik akan menjadi bagian dari pemeliharaan lingkungan perairan, di mana pada saat musim pertumbuhan rumput laut yang tidak menguntungkan maka sebaiknya pembudidaya rumput laut berhenti untuk menanam sehingga lingkungan dapat kembali pulih seperti keadaan semula Mudeng, 2014. Hal ini dilakukan selain dapat meminimalkan kegagalan panen karena iklim dan penyakit Arisandi dkk, 2014, juga berfungsi untuk menjaga tingkat kesuburan perairan. Simpulan Dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Bakteri yang ditemukan menginfeksi thallus rumput laut yang terserang penyakit ice-ice di perairan Maluku Tenggara adalah bakteri Pseudomonas stutzeri, Aeromonas faecalis, Vibrio alginolitycus, Pseudomonas fluorescens, Actinobassilus sp dan didominasi oleh genus Pseudomonas dan Vibrio. Pada musim tanam ke III-IV periode April-Juli bakteri banyak di temukan menginfeksi rumput laut pada lokasi Sathean, sedangkan lokasi Letvuan terjadi pada musim tanam VII-VII periode Oktober-Desember. Saran Perlu adanya penelitian lanjutan tentang tingkat serangan bakteri pada thallus rumput laut dan pengendalian penyakit ice-ice. Ucapan Terima Kasih Terima kasih di sampaikan kepada Bapak Dirjen Dikti, yang telah memberikan dana penelitian Hibah Bersaing dalam menunjang pelaksanaan penelitian ini. Juga kami sampaikan terima kasih kepada mitra, kepala desa dan masyarakat desa Sathean dan Letvuan yang telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian selama satu tahun di wilayah petuanan. Daftar Pustaka Aryati. R W., Sya’rani, L., Arini E. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut, Anggadiredja. J., Zatnika., H Purwoto dan Sri. Istini. 2011. Rumput laut pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Penebar swadaya. Jakarta. Arisandi. A dan Akhmad. Farid, 2014. Dampak faktor ekologis terhadap sebaran penyakit ice-ice. Journal Kelautan. 20 - 25. DKP. 2004. Profil Rumput Laut Indonesia. Jakarta-Indonesia Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Largo Fukami. K., And Nishijima. T. 1995. Occasional pathogenic bacteria promoting ice-ice diasease in the carrageenan-producing red algae Kappaphycus alvarezii and Eucheuma denticulatum Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta. Journal of applied phyciology 7 545 - 554. Musa. N and Wei. 2008. Bacteria attached on cultured seaweed Gracilaria changii at Mangabang Jurnal Akuatika Indonesia Vol. 3 No. 1/ Maret 2018 19-25 ISSN 2528-052X Telipot Terengganu Academic Journal of plant sciences 1 1 01 - 04. Mudeng. dan Ngangi. 2014. Pola Tanam Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Pulai Nain, Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Perikanan Universitas Sam Ratulangi. 2 27 – 37. Neksidin. Utama., K. Pengerang dan Emiyarti. 2013. Studi kualitas air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di perairan Teluk Kolono Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal mina laut Indonesia. 147 – 155. Pong-Masak dan Muh. Tjaronge. 2009. Hubungan kandungan Nitrogen dan Phosfor dalam perairan terhadap kandungannya dalam tallus rumput laut, Kappaphycus alvarezii pada lokasi berbeda di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan, Bidang Budidaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. – I. 25. Parenrengi. A., Rachmansyah., dan Suryati. E. 2011. Budidaya rumput laut penghasil karaginan Karaginofit. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan,Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput laut Alga makro/Seaweeds di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur. Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Santoso. L dan Yudha. Tri. Nugraha, 2008. Pengendalian penyakit ice-ice untuk meningkatkan produksi rumput laut Indonesia. Jurnal Saintek perikanan. 37 – 43. SNI Standart Nasional Indonesia, 2010. Produksi rumput laut kotoni Eucheuma cottinii – bagian 2 Metode long line. Badan standarisasi nasional. SNI Supatno., Wahyu Andi Nugraha., dan Insafitri. 2010. Populasi bakteri pada rumput laut Eucheuma cottonii yang terserang penyakit ice-ice. Jurnal Kelautan. 3. 2. Saraswati. dan I Made Sena Darmasetiyawana. 2016. Identifikasi bakteri pada rumput laut Eucheuma spinosum yang terserang penyakit ice-ice di perairan pantai Kutuh. Journal of Marine and Aquatic Science 2 11 - 15. Uyenco Saniel dan Jacinto. 1981. The “ice-ice” problem in seaweed farming. 10th international seaweed symposium. Walter de gruyter, New York. pp 625-630. ... Penyakit yang menyerang rumput laut yaitu penyakit ice-ice dan pucuk putih. Penelitian yang dilakukan oleh [2] juga menemukan bakteri yang menginfeksi rumput laut Eucheuma spinosum pada perairan pantai Kutuh Bali, didominasi oleh bakteri dan [3]. ...Nur ChaerunnisaPoetri Lestari DarwisTujuan penelitian ini untuk memberikan informasi tentang jenis penyakit rumput laut yang sesuai dengan gejala-gejala yang dilihat. Metode yang digunakan yaitu penerapan metode Certainty Factor dengan mesin Inferensi Forward Chaining. Jenis rumput laut yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis E. Cottoni Euchema Cottoni yang dapat ditemukan pada usaha budidaya rumput laut perairan indonesia, salah satunya usaha budidaya rumput laut Pak Maming. Data inputan yang digunakan yaitu variabel gejala pada rumput laut untuk menentukan jenis penyakit yang menyerang rumput laut. data gejala yang diinputkan dalam penelitian ini adalah Lambatnya pertumbuhan, Bintik-bintik putih atau bercak merah, Berubah menjadi kuning pucat, Mudah rapuh dan putus, Lembek dan busuk, Thallus berwarna putih, Busuk pada bagian ujung, Warna tidak cerah pada batang, Gelembung berwarna coklat, dan Timbulnya getah pada bagian tangkai. Data yang telah diinputkan akan diuji menggunakan mesin inferensi Forward Chaining yang bekerja untuk menghasilkan kesimpulan dari fakta yang ada dan kesimpulan tersebut akan diolah kembali untuk mendapatkan nilai kepastian dengan menggunakan metode Certainty Factor. Berdasarkan dari pengujian dan implementasi rumput laut jenis menyatakan bahwa nilai rata- rata yang di dapatkan penyakit pucuk putih sebesar 81,75% dan penyakit iceice sebesar 76,5%. Oleh karna itu hasil ini menunjukkan sistem mampu menentukan jenis penyakit rumput laut berdasarkan gejala yang diinputkan oleh Pebriyani TurnipAli Djunaedi Sunaryo SunaryoRumput laut merupakan salah satu komoditas utama dalam budidaya perikanan yang dapat di budidayakan secara masal sehingga dapat dikatakan merupakan komoditas yang strategis. Karakteristik perairan secara fisika dan kimia Perairan Jepara memiliki potensi untuk pengembangan budidaya rumput laut. Namun di Kabupaten Jepara hanya Pantai Karimunjawa yang dimanfaatkan menjadi kawasan budidaya rumput laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian perairan berdasarkan kualitas air untuk kawasan budidaya rumput laut K. alvarezii di perairan Kecamatan Jepara yang terkait parameter fisika dan kimia. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif dengan metode survei pengamatan langsung pada bulan Januari-Februari 2021 di 3 lokasi stasiun yaitu Pantai Kartini, Pantai Prawean dan Pantai Bandengan. Analisis Kesesuaian perairan menggunakan metode pembobotan scoring. Hasil evaluasi dari skoring penilaian kesesuaian perairan di Perairan Kecamatan Jepara menunjukkan bahwa Pantai Kartini, Prawean dan Bandengan sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya rumput laut K. alvarezii. Seaweed is one of the main commodities in aquaculture which can be cultivated en masse so that it can be said to be a strategic commodity. Physical and chemical characteristics of the waters in Jepara waters have the potential for the development of seaweed cultivation. However, in Jepara Regency, only Karimunjawa Beach is used as a seaweed cultivation area. This study aims to determine the level of water suitability based on water quality for the cultivation of seaweed K. alvarezii in the waters of Jepara District which are related to physical and chemical parameters. This research is a descriptive type of research with direct survey methods in January-February 2021 in 3 stations, namely Kartini Beach, Prawean Beach and Bandengan Beach. Water suitability analysis uses the scoring method. The results of the evaluation of the assessment of the suitability of waters in the waters of Jepara District show that Kartini, Prawean and Bandengan Beaches are suitable to be used as seaweed cultivation areas K. alvarezii.Semuel Frederik TuhumuryMiarah BachmidMasudin SangajiSeaweed cultivation activities in the Sawai Village, District of North Seram, Central Maluku Regency has been known since 1994, but has not seen a significant development until now. For it is necessary to study the sustainability status of seaweed cultivation as a whole through the five dimensions of the ecological, economic, technological, social and institutional in order to get a clear condition of seaweed cultivation. This study aims to determine the condition of seaweed cultivation in the Sawai Village, to analyze the status and sustainability indexes seaweed cultivation activities of the five dimensions of sustainability and to formulate the direction of the management of its seaweed cultivation. This research was conducted in December 2016-February 2017 in Sawai Village. The method were used in this research is descriptive qualitative. The data were used a primary and a secondary data. The results showed that the condition of the aquatic environment, the emploiment, marketing, post-harvest handling, and which system maintenance seaweed in Sawai village supports the development of seaweed, so the opportunity to be developed as a central potential of seaweed farming. The level of sustainability of seaweed cultivation in the Sawai village, are in the category of less sustainable. ecological dimension are in continuous status, the economic dimension the technological dimension the social dimension and institutional dimension are in status less sustainable. There are eight directions of management that could be recommended for the development of seaweed cultivation in the Sawai Village. ABSTRAK Kegiatan budidaya rumput laut di Negeri Sawai, Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tengah telah dikenal sejak tahun 1994, namun belum terlihat perkembangan yang signifikan hingga sekarang. Untuk itu perlu dikaji status keberlanjutan budidaya rumput laut secara menyeluruh melalui lima dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan agar mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kondisi budidaya rumput laut di Negeri Sawai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi budidaya rumput laut di Negeri Sawai, menganalisis status dan indeks keberlanjutan kegiatan budidaya rumput laut dari lima dimensi keberlanjutan serta merumuskan arahan pengelolaan budidaya rumput laut di Negeri Sawai. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2016-Februari 2017 dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menggunakan data primer maupun sekunder. Hasil penelitian menunjukkan kondisi lingkungan perairan, serapan tenaga kerja, pemasaran, penanganan pasca panen, dan sistem pemeliharaan rumput laut di Negeri Sawai mendukung pengembangan rumput laut, sehingga berpeluang untuk dikembangkan sebagai sentral budidaya rumput laut potensial. Tingkat keberlanjutan budidaya rumput laut di Negeri Sawai, berada dalam kategori kurang berkelanjutan. Dimensi ekologi 83,77% berada pada status berkelanjutan, dimensi ekonomi 47,81% dimensi teknologi 34,26%, dimensi sosial 46,97% dan dimensi kelembagaan 32,84% berada pada status kurang berkelanjutan. Terdapat delapan arahan pengelolaan yang dapat direkomendasikan untuk pengembangan budidaya rumput laut di Negeri Sawai. Kata Kunci Status keberlanjutan, budidaya, rumput laut, pengelolaan, Negeri Sawai Suprabadevi Ayumayasari SaraswatiI Made Sena DarmasetiyawanaThe main causes of ice-ice disease that seaweed production will decline. Bacterial infections occur due to fluctuations in climate change resulted in a decrease in water quality resulting in the durability of seaweed. When seaweed stress will facilitate pathogen infection. Disease pathogens cause damage to internal organs. The spread of bacterial disease in seaweed is generally very fast and can lead to death, so that the loss caused by this disease is quite large. Ice-ice disease occurrence is seasonal and contagious, so the impact on the selling price low. The results showed that there are two types of pathogenic bacteria that can potentially cause disease in which bacteria Vibrio alginoliticus and Pseudomonas aeruginosa. Climate change affects the spatial distribution of micro seaweed bacterial kualitas air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di perairan Teluk Kolono Kabupaten Konawe SelatanNeksidinK UtamaPengerang Dan EmiyartiNeksidin. Utama., K. Pengerang dan Emiyarti. 2013. Studi kualitas air untuk budidaya rumput laut Kappaphycus alvarezii di perairan Teluk Kolono Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal mina laut Indonesia. 147 penyakit ice-ice untuk meningkatkan produksi rumput laut IndonesiaSantosoDan YudhaTriNugrahaSantoso. L dan Yudha. Tri. Nugraha, 2008. Pengendalian penyakit ice-ice untuk meningkatkan produksi rumput laut Indonesia. Jurnal Saintek perikanan. 37 bakteri pada rumput laut Eucheuma cottonii yang terserang penyakit ice-iceSupatnoWahyu Andi NugrahaDan InsafitriSupatno., Wahyu Andi Nugraha., dan Insafitri. 2010. Populasi bakteri pada rumput laut Eucheuma cottonii yang terserang penyakit ice-ice. Jurnal Kelautan. 3. "ice-ice" problem in seaweed farming. 10th international seaweed symposiumF R UyencoL S Saniel DanG S JacintoUyenco Saniel dan Jacinto. 1981. The "ice-ice" problem in seaweed farming. 10th international seaweed symposium. Walter de gruyter, New York. pp kandungan Nitrogen dan Phosfor dalam perairan terhadap kandungannya dalam tallus rumput lautP R Pong-MasakDan MuhTjarongePong-Masak dan Muh. Tjaronge. 2009. Hubungan kandungan Nitrogen dan Phosfor dalam perairan terhadap kandungannya dalam tallus rumput laut, Kappaphycus alvarezii pada lokasi berbeda di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan, Bidang Budidaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Brawijaya. -I. Budidaya Rumput laut Alga makro/Seaweeds di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang AkuakulturBalai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan,Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jakarta. Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput laut Alga makro/Seaweeds di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Akuakultur.

Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS bakteri yang mrnginfeksi hewan laut. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Kami memiliki database lebih dari 122 ribu. Masukkan juga jumlah kata dan atau huruf yang sudah diketahui untuk mendapatkan

ï»żNilaiJawabanSoal/Petunjuk LANDAKLAUT Binatang laut berduri PAUS Binatang mamalia di laut NUS Jenis hewan laut TERIPANG Hewan laut KORAL Rumah bekas koloni binatang laut VIBRIO Salah satu jenis bakteri yang memiliki habitat alami di laut POLIP Binatang laut dengan bentuk tabung TETANUS Penyakit akibat infeksi luka oleh bakteri KUMAN Bakteri penyakit TIFUS Penyakit infeksi bakteri yang menyerang usus LISOZOME Substansi yang membantu mencegah infeksi bakteri IBAN Jenis binatang laut seperti remis; kijing SOTONG Binatang laut yang ada umbai di kepalanya PENISILIN Antibiotik yang digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri ZOOPLANKTON Binatang mengapung yang hanyut terbawa arus laut JANIK Sj binatang laut semacam teripang yang kulitnya berduriduri CUMI-CUMI Binatang Laut Kecil Dan Lunak Dengan Kaki Di Kepala GURITA Binatang Laut Kecil Dan Lunak Dengan Kaki Di Kepala KERANG Binatang lunak yang hidup di air laut keluarga tiram LAMBUR Binatang laut yang rupanya seperti payung terapung-apung ubur-ubur besar WALRUS Binatang sejenis anjing laut yang hidup di laut Artik; Odobenus rosmarus divergens FORAMINIFERA Sekumpulan besar binatang kecil bersel satu yang hidup di laut TRAKOM Penyakit infeksi pada mata yang disebabkan oleh bakteri bernama Chlamydia trachomatis ZOOFIT Binatang laut tidak bertulang belakang, mempunyai bentuk bercabang sehingga menyerupai tumbuhan ENTERIDITIS Bioi Dok jenis bakteri, yang menyebabkan enteritis pd beberapa anak binatang
Sistemkami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS bakteri yang menginfeksi di laut. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS (Teka Teki Silang) populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Binatang Laut Kecil Dan Lunak Dengan Kaki Di Kepala: KEONG: Siput laut: SEA: Laut (Inggris) AL: Angkatan laut: HIU: Hewan Intensifikasi sistem budidaya telah menyebabkan perkembangan yang luar biasa dalam industri akuakultur. Namun demikian, perkembangan industri budidaya, khususnya di Batam, harus dibayar dengan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan ikan. Peningkatan industri budidaya telah menimbulkan berbagai masalah penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri, jamur dan parasit patogen. Belakangan ini, frekuensi wabah penyakit telah meningkat di wilayah Kota Batam dan telah menyebabkan tingkat kematian dan kerugian ekonomi yang besar. Namun demikian, saat ini banyak pembudidaya masih lebih berfokus pada pengobatan dibandingkan pencegahan. Penggunaan antibiotik yang tidak bertanggung jawab dan bahan kimia dalam sistem budidaya telah menyebabkan masalah residu dan resistensi terhadap beberapa antibiotika di antara bakteri patogen. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan profilaksis dalam kerangka Health Management Practices HMP diperlukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh bawaan dan adaptif terhadap infeksi - uploaded by Romi NovriadiAuthor contentAll figure content in this area was uploaded by Romi NovriadiContent may be subject to copyright. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free PENYAKIT INFEKSI PADA BUDIDAYA IKAN LAUT DI INDONESIA ROMI NOVRIADI, SRI AGUSTATIK, HENDRIANTO, drh. R. PRAMUANGGIT Ir. ARIK HARIWIBOWO, KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN 2014 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pelaksanaan pembangunan sektor budidaya ikan laut pada dasarnya dapat dilakukan dengan cepat, efektif dan menguntungkan karena memiliki berbagai kekuatan, peluang dan akses pasar yang cukup luas. Secara fisik, Kusumastanto 2003, menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi yang melimpah untuk pembangunan industri perikanan budidaya. Potensi tersebut meliputi wilayah perairan nasional seluas 3,1 juta km2, luas Zona Ekonomi Eksklusif sekitar juta km2, panjang garis pantai mencapai km dan memiliki jumlah pulau sebanyak buah yang dapat digunakan untuk penguatan kapasitas produksi budidaya ikan laut. Berdasarkan data statistik KKP 2009, pemanfaatan potensi budidaya laut masih berkisar 0,3% dengan 12,502,396 Ha lahan potensi yang masih dapat dikembangkan. Kenaikan rata-rata produksi budidaya ikan laut dalam kurun waktu 2009-2010 juga meningkat sekitar 20% dengan nilai produksi mencapai 10,3 Triliun KKP, 2009. Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang investasi dan pengembangan industri budidaya ikan laut di Indonesia cukup menjanjikan. Pembangunan budidaya ikan laut menjadi sangat penting karena selain didukung oleh data potensi juga didasari oleh fakta bahwa kondisi sumberdaya perikanan Indonesia khususnya perikanan tangkap, telah mengalami over fishing pada beberapa daerah yang berakibat kepada adanya tren penurunan jumlah produksi. Untuk memperkuat kapasitas dan mempercepat proses peningkatan produksi, telah dilakukan program revitalisasi perikanan budidaya melalui kegiatan pengembangan kawasan minapolitan, komoditas unggulan dan penguatan modal yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing melalui pemberdayaan usaha budidaya kepada masyarakat dan perbaikan mutu hasil perikanan budidaya. Seluruh program ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dan sinergi terhadap produktivitas sektor perikanan budidaya sehingga kebutuhan pangan food security khususnya bagi masyarakat Indonesia dapat terpenuhi. Penyakit Infeksi sebagai salah satu penghambat utama dalam budidaya ikan laut Salah satu hambatan utama dalam keberlanjutan produksi budidaya adalah kematian yang diakibatkan oleh infeksi mikroorganisme patogen. Kondisi ini berkorelasi positif dengan semakin intensifnya sistem budidaya yang dikembangkan Cao et al., 2007. Secara global, potensi kerugian ekonomi akibat wabah penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi mikroorganisme patogen cukup signifikan dan berdampak kepada jumlah produksi, keuntungan dan keberlanjutan sistem budidaya. Kerugian ekonomi pada industri budidaya akibat wabah penyakit diperkirakan mencapai US$ 9 miliar per tahun Subasinghe et al., 2001 dan berdampak kepada penurunan jumlah produksi ikan budidaya di seluruh dunia Hill, 2005. Di Indonesia, Zafran et al., 1997 menyatakan bahwa infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia, Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon irritans telah menjadi wabah umum pada ikan Kerapu. Sementara, infeksi yang disebabkan oleh iridovirus Fris Johnny dan Des Roza, 2009 dan Nervous Necrosis Virus NNV Sukadi, 2004 telah menjadi hambatan tersendiri bagi peningkatan jumlah produksi. Kondisi ini membuktikan bahwa masalah penyakit dalam perkembangan budidaya ikan laut memerlukan perhatian yang sangat serius. Secara umum, jenis penyakit pada budidaya ikan laut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yakni penyakit infeksius dan non-infeksius Subasinghe, 2009. Penyakit infeksius disebabkan oleh organisme patogen dan mampu menyebar melalui pergerakan inang yang telah terinfeksi. Secara rinci, kelompok penyakit ini dapat dibedakan menjadi 4 golongan, yaitu penyakit parasitik, bakterial, viral dan mikotik. Sementara penyakit non-infeksius umumnya disebabkan oleh kondisi lingkungan, defisiensi nutrient, genetik, pengelolaan aktivitas budidaya yang buruk dan kontaminasi dari senyawa yang bersifat toksik. Disamping hal tersebut, organisme yang ada di lingkungan budidaya dan digolongkan sebagai “hama” pada kegiatan budidaya ikan laut juga dapat digolongkan sebagai penyebab penyakit non-infeksius. Perhatian terhadap masalah penyakit ikan semakin meningkat sejalan dengan perubahan pola sistem budidaya yang menuju kearah intensifikasi. Informasi mengenai jenis, sumber dan siklus hidup penyakit yang sering menyerang ikan laut selain sangat membantu dalam upaya pengobatan juga bermanfaat dalam menentukan tindakan pencegahan yang harus dilakukan oleh para pembudidaya ikan untuk mencegah timbulnya wabah penyakit Afrianto dan Liviawaty, 1992. Namun, informasi mengenai penyakit ikan laut secara ilmiah di Indonesia masih sangat terbatas dan hanya terdokumentasi secara parsial dalam laporan penelitian, jurnal, maupun buku-buku hasil kegiatan pemantauan penyakit ikan dan lingkungan. Menurut Mangunsuwiryo 1990, kurangnya informasi ini utamanya disebabkan oleh berbagai keterbatasan seperti kekurangan pakar mengenai penyakit ikan, fasilitas laboratorium, dan penyebaran informasi penyakit ke tingkat petambak/petani ikan. Hal ini menyebabkan informasi mengenai permasalahan penyakit secara lengkap dan terkini sulit diperoleh baik oleh masyarakat petani ikan, praktisi perikanan, dinas/lembaga terkait maupun para peneliti. Terbatasnya penyebaran informasi mengenai penyakit ikan ke tingkat petambak/petani ikan atau bahkan ke para pelaku bisnis ataupun praktisi bidang perikanan menyebabkan kesulitan dalam melakukan tindakan penanggulangan maupun cara pengobatan atau terapinya. Adanya informasi yang cepat dan lengkap mengenai cara mengendalikan penyakit ikan sangat bermanfaat dalam upaya pengembangan penanggulangan penyakit ikan di Indonesia. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah dengan menyusun Buku yang fokus kepada pembahasan jenis-jenis penyakit infeksius pada budidaya ikan laut di Indonesia yang meliputi jenis penyakit, agen penyebab penyakit, pemicu infeksi, gejala klinis dan disertai dengan tindakan pencegahan dan pengendalian yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak akibat serangan penyakit infeksius tersebut. Buku ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan referensi bagi para pembudidaya, pengambil kebijakan dan akdemisi yang ingin mengetahui sebaran penyakit pada ikan laut di Indonesia. Akhirnya, penyusunan buku ini diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya pelaksanaan prinsip pencegahan sebagai komponen utama dalam kegiatan industri budidaya ikan laut dan menggantikan prinsip pengobatan yang terbukti tidak terlalu efektif dalam mengendalikan penyakit pada ikan budidaya. BAB II JENIS-JENIS PENYAKIT PADA BUDIDAYA IKAN LAUT Sakit pada ikan yaitu suatu keadaan abnormal yang ditandai dengan penurunan kemampuan ikan secara gradual dalam mempertahankan fungsi-fungsi fisiologik normal. Pada keadaan tersebut ikan dalam keadaan tidak seimbang dari sisi fisiologis dan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan Irianto, 2005. Sakit pada ikan umumnya timbul akibat interaksi dari 3 faktor, yakni inang, patogen dan lingkungan. Walaupun keberadaan patogen terdeteksi di media pemeliharaan, wabah penyakit tidak akan timbul kecuali kualitas lingkungan terdegradasi dan menjadi salah satu faktor stress bagi ikan Gambar 1. Gambar 1. Timbulnya penyakit akibat interaksi antara inang, patogen dan lingkungan Menurut Usman 2007 faktor biotik yang dimaksud yang merugikan ikan di dalam ekosistem dapat dibagi atas tiga kelompok besar yakni 1 Parasit, yaitu organisme yang hidup dan memperoleh makanan dari host inang yang ditumpanginya. Kedalam golongan ini termasuk bakteri, protozoa, virus, crustacea udang renik, cacing dan jamur. 2 Hama, yaitu organisme yang mengganggu atau merusak ikan secara fisik contohnya Tryonix sp bulus, Egretta sp burung kuntul, ular air Cerberus rhyncops dan lain-lain. 3 Predator, yakni hewan karnifora pemangsa misalnya Varanus Salvador biawak 4 Kompetitor, yakni organisme yang merupakan pesaing dalam memperoleh oksigen, ruang dan makanan seperti ikan-ikan liar, belut dan lain-lain. Ditambahkan lagi oleh Usman 2007 bahwa selain faktor biotic, faktor non biotik juga dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya penyakit, antara lain 1 Faktor lingkungan; Diantara faktor lingkungan yang dapat merugikan kesehatan ikan ialah pH air yang terlalu tinggi atau rendah, kandungan oksigen yang rendah, temperatur yang berubah secara tiba-tiba, adanya gas beracun serta kandungan racun yang berada di dalam air yang berasal dari pestisida, pupuk, limbah pabrik , limbah rumah tangga dan lain-lain. 2 Pakan. Penyakit dapat timbul karena kualitas pakan yang diberikan tidak baik. Gizi rendah, kurang vitamin, busuk atau telalu lama disimpan serta pemberian pakan yang tidak tepat. 3 Genetik. Penyakit genetis atau turunan dapat berupa bentuk tubuh yang tidak normal dan pertumbuhan yang lambat Pada bab ini fokus pembahasan dilakukan pada faktor biotik, khususnya penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang bersifat infeksius pada budidaya ikan air laut di Indonesia, meliputi penyakit viral, penyakit bakterial, penyakit parasit dan penyakit yang diakibatkan oleh jamur. Penyakit Viral Virus merupakan agensia infeksi non seluler dan hanya dapat melakukan multiplikasi dalam sel inang. Virus berukuran sangat kecil yaitu bervariasi dari 18-200 nm Smail dan Munro, 1989, sehingga hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop electron. Untuk dapat bertahan hidup dilingkungan, virus harus mampu berpindah dari inang satu ke inang lainnya, menginfeksi dan replikasi pada inang yang sesuai. Sejumlah virus dapat berada dalam tubuh inang dalam waktu lama tanpa melakukan replikasi. Pada keadaan tersebut, genom virus dapat terintegrasi dalam kromosom inang. Dengan kondisi yang demikian, maka kehadiran virus dapat bersifat laten dan akan meledak sebagai wabah manakala ikan dalam kondisi lemah Irianto, 2005. Beragam virus diketahui telah menginfeksi ikan air laut di Indonesia diantaranya Nervous Necrosis Virus NNV Karakteristik Nervous Necrosis Virus NNV Penyakit ini dikenal juga sebagai Viral encephalopathy and retinopathy VER, Spinning grouper diseases, Fish encephalitis atau Whirling disease Lio-Po dan de la Pena, 2004. Penyebab penyakit ini adalah piscine nodavirus dari genus Betanodavirus dengan ukuran 25-30 nm. Piscine nodavirus terdiri atas 4 genotip red-spotted grouper nervous necrosis virus RGNNV, striped jack nervous necrosis virus SJNNV, barfin flounder nervous necrosis virus BFNNV dan tiger puffer nervous necrosis virus TPNNV. Penyakit ini menginfeksi seluruh tahapan perkembangan ikan, namun kematian tinggi dilaporkan terjadi pada larva dengan umur kurang dari 20 hari. Agen penyebab Piscine nodavirus dari genus Betanodavirus 25-30 nm merupakan agen penyebab utama penyakit VNN. Penyakit ini pertama kali dilaporkan keberadaannya pada ikan Japanese parrotfish Oplegnathus fasciatus pada saat terjadi wabah pada tahun 1985-1987 Yoshikoshi and Inoue, 1990 dan saat ini keberadaan VNN telah teridentifikasi di hampir seluruh lingkungan untuk pengembangan budidaya ikan laut di wilayah tropis, utamanya pada fase benih Leong and A. Colorni, 2002. Pemicu infeksi. Suhu memainkan peranan penting dalam proses replikasi dan peningkatan sifat patogenitas dari Piscine nodavirus. Sebagai contoh RGNNV yang diisolasi dari ikan kerapu menghasilkan efek cytopathic pada sel GF-1 pada suhu 24-320 C tetapi tidak pada suhu 200 C atau 370 C. Pada larva yang diuji tantang dengan RGNNV pada suhu 280C, kematian mencapai 100% pada 50-80 jam setelah inokulasi. Pada uji coba yang dilakukan di benih ikan kerapu E. akaara, RGNNV menyebabkan kematian hingga 100% pada suhu 24-280C, namun pada suhu 16 dan 200C, mortalitas berkurang hingga 57-61% dan munculnya perilaku berenang yang tidak normal dan kematian pada ikan dapat ditunda Lio-PO dan De la Pena, 2004. Virus ini dapat ditularkan dari ikan sakit ke ikan sehat dalam kurun waktu 4 hari setelah terjadi kontak. Nodavirus dapat dideteksi pada ikan yang tidak menunjukkan adanya perilaku terkena infeksi, oleh karena itu, Induk ikan yang terinfeksi dapat menjadi wadah dan sumber penularan virus ke larva yang dihasilkan. Gejala klinis Gejala klinis umum pada beberapa jenis ikan yang terinfeksi NNV menunjukkan perilaku berenang ikan yang tidak beraturan, beberapa ikan tenggelam ke dasar bak dan kemudian mengapung lagi di permukaan. Induk dan benih ikan yang terinfeksi menunjukkan adanya pembengkakan gelembung renang Gambar 1, letargik sekarat, dengan gerakan lemah, warna tubuh terlihat lebih gelap dan hilang nafsu makan. Ikan yang terinfeksi NNV umumnya memperlihatkan keadaan gangguan saraf yang berhubungan dengan vakuolisasi kerusakan kuat sistem saraf pusat dan retina Thierry et al., 2006. Gambar 1. Induk ikan kerapu Epinephelus coioides dengan perut bengkak yang dikaitkan dengan infeksi VNN Sumber Lio-Po dan de la Pena, 2004 Virus ini dapat ditularkan dari ikan yang terinfeksi ke ikan yang sehat dalam waktu 4 hari kontak di media pemeliharaan. Nodavirus sebagai agen penyebab NNV dapat dideteksi pada ikan tanpa gejala klinis. Ikan tersebut dapat menjadi wadah virus dan dapat berperan menjadi sumber virus bagi larva mereka. Iridovirus Karakteristik Iridovirus Iridovirus merupakan famili virus yang memiliki ukuran 130-300 nm, materi genetiknya berupa DNA dan dengan kapsid berbentuk ikosahedral berisi 20. Iridovirus dijumpai pada beragam spesies ikan laut dan dapat ditemukan di limpa dan jaringan intestinal ikan yang sakit atau sekarat dengan tanda-tanda penyakit sistemik. Tingkat mortalitas ikan yang terinfeksi mulai dari rendah 0,5 – 10% hingga sedang 50% dan umumnya dapat menyebabkan kematian dalam kurun waktu 24-48 jam setelah munculnya gejala-gejala infeksi. Infeksi iridovirus pada budidaya ikan laut telah diidentifikasi memiliki variasi yang dapat digolongkan menjadi Red Seabream Iridovirus Disease RSIVD, Sleepy Grouper Disease SGD dan Grouper Iridovirus Disease GIVD. Secara keseluruhan infeksi iridovirus ini dapat mengakibatkan infeksi yang sistemik pada ikan. Dikarenakan hubungan antara ketiga jenis Iridovirus ini tidak begitu jelas, makan penyakit Iridovirus tersebut diatas disajikan secara terpisah.  Red Seabream Iridovirus Disease RSIVD Penyakit ini merupakan infeksi iridovirus yang telah dikaji secara luas. Jenis virus ini sering ditemukan pada budidaya ikan Red Seabream di Jepang. Selanjutnya virus ini telah dilaporkan menginfeksi banyak jenis ikan Kerapu, seperti Epinephelus akaara, E. malabaricus, E. coioides, E. awoara dan E. fuscoguttaus baik di Jepang, Taiwan, Thailand, Malaysia hingga ke Indonesia. Penyebab penyakit ini adalah Red Seabream Iridovirus Disease RSIVD yang memiliki ukran 130 – 196 nm. Umumnya menginfeksi ikan Kerapu atau ikan laut lainnya yang memiliki usia pertumbuhan kurang dari 1 tahun. Ikan yang terinfeksi oleh Red Seabream Iridovirus Disease RSIVD akan mengalami penurunan nafsu makan dan kematian terjadi pada 8 – 10 hari setelah ikan terpapar oleh virus.  Sleepy Grouper Disease SGD Agen penyebab penyakit ini memiliki ukuran 130 – 160 nm. Penyakit ini pertama kali dilaporkan terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus tauvina ukuran 100 – 200 g dan 2 – 4 kg di Singapura dan Malaysia. Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala klinis luka yang akut, nafsu makan berkurang dan berenang baik sendirian atau mengapung di permukaan air atau tetap berada di dasar bak Lio-Po Dan de la Pena, 2004.  Grouper Iridovirus Disease GIVD Agen penyebab penyakit ini adalah iridovirus dari genus Ranavirus yang memiliki ukuran 200 – 240 nm dan berbeda dari RSIVD. Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis berenang yang tidak aktif, nafsu makan berkurang, letargik dan warna ekor dan sirip cenderung menjadi gelap. Ikan yang sudah terinfeksi virus ini secara akut akan mengapung ke permukaan kemudian akhirnya tenggelam ke dasar bak dan mati Identifikasi virus dan penyakit viral memerlukan keahlian, pelatihan dan peralatan khusus. Penyakit viral tidak dapat dikontrol dengan obat-obatan atau antibiotika karena virus menggunakan sel inangnya untuk proses reproduksi dan bertahan hidup. Dengan demikian pilihan terbaik untuk menghindari terjadinya wabah penyakit viral ini adalah dengan menghindari kondisi media pemeliharaan menjadi lebih berat dan mencegah terjadinya infeksi sekunder yang akan memperparah wabah. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan penerapan manajemen pemeliharaan yang baik antara lain dengan meningkatkan kualitas air media pemeliharaan, perbaikan kualitas pakan, pengurangan padat tebar, sanitasi lingkungan, penerapan standar karantina bagi ikan yang menunjukkan gejala terserang penyakit atau dengan memusnahkan ikan yang sudah positif terinfeksi oleh penyakit viral ini. Aplikasi vaksin juga dapat dilakukan, namun fakta bahwa ikan bersifat poikilotermal, menjadikan respon imun terhadap vaksin tidak dapat diprediksi sehingga vaksinasi harus lebih sering dilakukan. Agen penyebab Penyakit ini disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam family Iridoviridae dan memiliki bentuk heksagonal dengan diameter 200-240 nm pada ikan red seabream dan 140-160 nm pada ikan kerapu Danayadol et al., 1997; Kasornchandra and Khongpradit, 1997. Infeksi virus ini dilaporkan telah menyebar di lingkungan budidaya di wilayah Asia Tenggara Leong and A. Colorni, 2002 dan menjadi salah satu penyakit dalam daftar OIE di tahun 2014. Di Indonesia, Infeksi Iridovirus pertama kali terdeteksi di lokasi budidaya kerapu di Sumatera Utara Rukyani et al., 1993 dan kemudian menyebar di unit-unit perbenihan yang ada di Lamongan, Jawa Timur Mahardika et al., 2002. Data terkini menunjukkan bahwa infeksi Iridovirus ini telah menyerang budidaya ikan Kerapu di Lampung, Pulau Seribu Trobos, 2011, Batam Romi et al, 2014 dan Ambon. Pemicu infeksi. Lingkungan yang terkontaminasi dan kualitas air yang buruk memicu peningkatan infeksi iridovirus. Hal ini utamanya disebabkan oleh kontak langsung antara insang dan saluran pencernaan ikan dengan lingkungan. Penyebaran virus antara ikan yang berada di sistem produksi yang sama akan terjadi dengan sangat cepat bila ikan tidak memiliki sistem imun yang baik dan berada dalam kondisi lemah. Namun, belum ada laporan yang menyatakan bahwa virus ini dapat menyebar secara vertikal, karena pada umumnya virus ini menyebar akibat introduksi ikan impor yang telah terinfeksi oleh Iridovirus sebelumnya atau bersifat carier terhadap Iridovirus Lio-Po and de la Pena, 2004. Gejala Klinis Tanda-tanda klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi oleh Iridovirus diantaranya warna tubuh menjadi gelap melanosis dan letargik sekarat, dengan gerakan lemah. Seringkali ikan kehilangan nafsu makan, pembengkakan abdomen, limpa membesar, saluran pencernaan memerah karena pendarahan hemoragik dan terdapat cairan keruh dalam rongga tubuh. Penyakit Bakterial Bakteri merupakan organisme yang paling umum dijumpai di lingkungan akuatik serta memiliki keragaman morfologi, ekologi dan fisiologis yang cukup tinggi. Sebahagian besar bakteri patogen pada budidaya ikan laut memiliki sel berbentuk batang pendek dan bersifat gram negatif. Penyakit yang ditimbulkan umumnya menunjukkan gejala septikemia dan borok Irianto, 2005. Adapun sebagian bakteri lainnya bervariasi antara lain memiliki sifat gram positif dan memiliki bentuk sel kokus atau batang. Austin dan Austin 1999 mengidentifikasi 13 kelompok bakteri yang terdiri dari 51 genus, merupakan penyebab utama penyakit infeksi bakterial pada ikan. Genus bakteri tersebut antara lain Mycobacterium, Aeromonas, Flavobacterium, Pseudomonas dan Vibrio. Pengelompokan bakteri patogen penting pada budidaya ikan laut disajikan pada Tabel 1. Listonella anguillarum formerly Vibrio anguillarum seabass, striped bass, eel, red seabream Moritella viscosa formerly Vibrio viscosus Photobacterium damselae subsp. Piscicida formerly Pasteurella piscicida Photobacteriosis Pasteurellosis Seabream, seabass, sole, striped bass, yellowtail Aeromonas salmonicida subsp. salmonicida Tenacibaculum maritimum formerly Flexibacter maritimus seabass, gilthead and red seabream Pseudomonas anguilliseptica Pseudomonadiasis “Winter disease” Seabream, eel, turbot, ayu Lactococcus garvieae formerly Enterococcus seriolicida Streptococcosis or lactococcosis Yellowtail, Seabass, Barramundi Renibacterium salmoninarum Tabel 1. Pengelompokan bakteri pada budidaya ikan laut Sumber Toranzo et al., 2005 Greasy grouper Epinephelus coioides European seabass D. labrax Seabream Sparus aurata Red seabream Pagrus major Horse mackerel Trachurus japonicus Golden snapper Lutjanus johni Seabream S. aurata European seabass D. labrax Seabream S. aurata Japanese flounder P. olivaceus myxobacteriosis Greasy grouper E. coioides Asian seabass Lates calcarifer Mangrove snapper L. argentimaculatus Greasy grouper E. coioides Amberjack S. dumerii European seabass D. labrax Asian seabass Lates calcarifer Tabel 2. Penyakit bakteri pada budidaya ikan laut Sumber Leong and A. colorni, 2002 Penyakit infeksi bakterial pada ikan memiliki waktu inkubasi, tingkat mortalitas dan tanda-tanda klinis yang bervariasi. Sebagian besar bakteri patogen ikan yang sudah diketahui, dapat ditumbuhkan pada media buatan di luar tubuh inang. Hal utama yang harus disediakan adalah media sintetis untuk pertumbuhan bakteri. Memang tidak ada satu teknik yang dapat digunakan secara umum untuk mengisolasi bakteri patogenik ikan, namun media pertumbuhan dasar untuk pertumbuhan bakteri laut dapat digunakan, diantaranya adalah Marine agar, TSA yang ditambah NaCl hingga 2%, BHIA atau variasi lainnya. Isolasi bakteri juga dapat dilakukan dengan menggunakan media selektif, antara lain dengan menggunakan TCBSA Thiosulphate Citrate Bile-Salt Sucrose Agar. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Perikanan Budidaya Laut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan diverifikasi dengan merujuk pada tabel jenis-jenis infeksi bakteri pada budidaya ikan laut Tabel 1 dan 2, maka berikut disajikan jenis infeksi bakteri, morfologi dan dampak yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri dimaksud pada budidaya ikan laut. Infeksi Vibrio Karakteristik Menurut Irianto 2005, Vibrio digolongkan sebagai bakteri dengan sifat gram negatif, berbentuk batang dan sebagian besar hidup di perairan laut dan payau. Secara umum, infeksi akibat Vibrio disebut sebagai Vibriosis, kadang dikenal pula sebagai Salt water furunculosis, red boil dan pike pest. Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan laut karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit Post, 1987. Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Gejala klinis awal dari ikan yang terinfeksi penyakit ini adalah anorexia atau hilang nafsu makan yang disertai dengan warna tubuh menghitam Tendencia dan Lavilla-Pitogo, 2004. Ikan yang terinfeksi juga akan mengalami kehilangan keseimbangan dan menunjukkan perilaku berenang yang tidak normal. Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan laut pada stadia juvenil selain lemah dan berwarna kehitaman, juga akan merangsang produksi lendir yang berlebihan. Pada tingkat akut, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti terbakar Schubert, 1987. Agen Penyebab Jenis Vibrio juga sangat beragam, ada sekitar 20 spesies Vibrio yang menyerang ikan laut dan payau. Vibrio pathogen yang dianggap penting pada ikan kerapu adalah V. anguillarum, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus dan V. marinus Wijayati & Hamid, 1997; Murdjani, 2002, V. anguillarum, V. metchnikovi, V. vulnificus, V. fluvialis, dan V. furnisii Kamiso et al., 2005; Istiqomah et al., 2006. Serangan Vibrio terutama di pembenihan dapat menimbulkan kematian mencapai 80-90% bahkan 100% Murdjani, 1997; Anonim, 1999; Yuasa, 2000. Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Krovacek et al., 1987, Infeksi Vibriosis setidaknya disebabkan oleh delapan spesies, yaitu 1 Vibrio anguillarum spesies yang paling umum diisolasi dari ikan laut 2 Vibrio alginolyticus dilaporkan telah menginfeksi beberapa jenis ikan seperti ikan kerapu Grouper spp dan Kakap putih Lates calcarifer 3 Vibrio parahaemolyticus dilaporkan telah menginfeksi Ikan Kerapu Grouper spp dan clown fish 4 Vibrio fluvialis dilaporkan pada ikan Kerapu bebek Cromileptes altivelis 5 Vibrio vulnificus dilaporkan menyebabkan infeksi pada ikan Kerapu Epinephelus spp 6 Vibrio damsela dilaporkan menginfeksi ikan Kerapu Epinephelus spp 7 Vibrio carchariae dilaporkan menginfeksi ikan Kerapu Epinephelus spp 8 Vibrio harveyi dilaporkan menginfeksi ikan Kerapu Epinephelus spp Kajian lebih lanjut menunjukkan bahwa cytotoxins yang diproduksi oleh Vibrio spp mampu menembus hingga mukus dan melakukan penetrasi hingga lapisan mukus dan menyebabkan keusakan pada kulit ikan Krovacek et al., 1987. Pemicu infeksi. Pada dasarnya Vibrio merupakan jasad oportunistik Defoirdt et al., 2005. Berlangsungnya wabah Vibriosis dapat terjadi akibat stress lingkungan yang menjadikan kondisi ikan lemah atau diinduksi oleh adanya infeksi primer yang disebabkan oleh parasit sehingga menyebabkan kerusakan jaringan pada ikan dan menjadi situs yang menguntungkan bagi Vibrio spp untuk memulai infeksi. Infeksi Vibriosis kemungkinan besar dapat ditularkan melalui mulut oral transmission, baik yang berasal dari pakan rucah ataupun lingkungan. Hal ini didukung oleh bukti bahwa Vibrio spp dapat diisolasi dari saluran pencernaan ikan yang secara klinis dinyatakan sehat Irianto, 2005. Infeksi Vibriosis juga dapat disebabkan oleh adanya luka akibat penanganan yang kurang baik pada saat grading, handling dan transportasi. Faktor lingkungan juga dapat memicu timbulnya wabah penyakit ini seperti disebabkan oleh faktor suhu yang tinggi, variasi tekanan osmotik dan polusi yang disertai dengan partikel organik Pedersen and Larsen, 1998. Pada keadaan tertentu, Vibrio dapat menembus dinding intestinum dan menyebabkan infeksi sistemik. Ketika terjadi wabah, populasi Vibrio dilingkungan akan meningkat pesat sehingga memperbesar kemungkinan untuk menginfeksi organism akuatik lainnya. Gejala Klinis Tanda Vibriosis adalah serupa pada banyak penyakit bakterial ikan lainnya. Gejala umumnya dimulai dengan kelesuan dan hilangnya selera makan. Penyakit Vibriosis juga ditandai dengan kulit menjadi buram discolored, merah dan necrotic mati, sakit seperti melepuh dapat terlihat pada permukaan tubuh, adakalanya pecah pada permukaan kulit menghasilkan luka terbuka. Bintik-bintik darah Erythema umum terjadi di sekitar sirip dan mulut. Ketika penyakit menjadi systemic, dapat menyebabkan exopthalmia "pop-eye", dan saluran usus dan dubur menjadi berdarah dan terisi dengan cairan. semua gejala ini dapat disebabkan oleh penyakit bakterial lainnya, dan bukan hanya oleh Infeksi Vibrio. Reed P. A and Floyd 1994. Penyakit ini bersifat akut atau sub akut. Pada tingkat akut, rata-rata waktu kematian sekitar 4 hari dan dalam satu minggu dapat mencapai mortalitas hingga 90% atau lebih. Dan gejala eksternal sering tidak tampak jelas. Gejala klinis setelah dilakukan uji tantang dengan V. alginolyticus ikan terlihat kemerahan, terjadi peradangan, nekrosis dan ulser. Perlakuan dengan pemberian immunostimulan proses penyembuhan ulser lebih cepat. Total Lekosit 23,1-36,3 x106; Netrofil 0,3-6,3%; Monosit 25,0-27,0%; Limfosit 58,3-67,7% dan Trombosit 0,3-10,3%. Fagositik indek 5,5 – 9,3. Kelangsungan hidup tertinggi pada perlakuan Bakterin 75,0 %. Infeksi Streptococcus Karakteristik Streptococcus adalah bakteri spheris Gram positif yang yang termasuk dalam family Streptococcaceae dengan karakteristik khas hadir berpasangan atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Beberapa kelompok Streptococcus adalah flora normal manusia. Streptococcus menghasilkan berbagai enzim dan substansi ekstraseluler. Streptococcus merupakan kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada sistem yang dapat mengklasifikasikannya. Dua puluh spesies, termasuk Streptococcus pyogenes Grup A, Streptococcus agalactie Grup B, dan Enterococci Grup D memiliki ciri-ciri dengan kombinasi gambaran 1 sifat pertumbuhan koloni, 2 pola hemolisis pada agar darah α hemolisis, ÎČ hemolisis, atau tidak ada hemolisis, 3 komposisi antigenik pada substansi dinding sel grup-spesifik, dan 4 reaksi biokimia. Secara umum banyak anggota dari genus Streptococcus bersifat patogen baik kepada manusia maupun hewan dan beberapa diantaranya telah terbukti memiliki sifat zoonosis. Bila ditinjau dari sudut morfologi, bakteri Streptococcus memiliki bentuk 1 bulat atau oval, 2 memanjang seperti rantai, 3 bersifat gram positif, 4 tidak bergerak, 5 tidak membentuk spora atau kapsul, 6 Umumnya bersifat fakultatif anaerob, tanpa endospora 7 memiliki diameter koloni berukuran 0,7-1,4 ”m, 8 bersifat Non acid fast, dan 9 dapat hidup di air tawar dan air laut dengan kisaran suhu untuk pertumbuhan optimum berada ada kisaran 10-45oC. Penyakit yang juga dikenal sebagai red boil disease ini seringkali dikaitkan dengan infeksi Vibriosis dan saat pertama kali dilaporkan terjadi pada ikan Kerapu Epinephelus malabaricus dan E. bleekeri di Brunei Darussalam, Malaysia, Singapore dan Thailand Tendencia dan Lavilla-Pitogo, 2004. Dampak yang ditimbulkan pada inang diantaranya adalah mata menonjol Exophthalmus, terdapat bintik merah pada kulit yang semakin membesar dan akhirnya pecah, menimbulkan septikemia berat yang akut atau dalam bentuk kronik dengan serangan terbatas pada sistem saraf pusat. Septikemia kemungkinan disertai dengan hemoragik pada sirip, kulit dan permukaan serosal. Pada kondisi akut dapat membentuk borok pada permukaan tubuh yang memberi peluang kepada masuknya mikroorganisme patogen lain ke dalam tubuh ikan Irianto, 2005. Kasus infeksi Streptococcus terutama terjadi pada sistem budidaya resirkulasi tertutup, dan kemungkinan besar terkait dengan padat tebar tinggi, malnutrisi, oksigen rendah, kehadiran parasit dan kualitas air yang buruk, khususnya terkait dengan kandungan nitrat tinggi dan fluktuasi suhu air yang ekstrim. Bakteri Streptococcus dapat dikultur di agar darah bovine, opine atau lapine dan tumbuh pada suhu antara 22 dan 370 C, yang akan menghasilkan koloni berwarna abu-abu dengan ukuran 1 sampai 2 mm selama periode kultur 48 jam. Strain yang bersifat patogen pada ikan laut umumnya bersifat α-hemolytic Kusuda et al., 1976, ÎČ-hemolytic Robinson dan Meyer, 1966, atau bersifat non-hemolytic Plumb et al., 1974. Agen Penyebab Klasifikasi terhadap bakteri gram positif-coccus berdasarkan kepada hibridisasi pasangan DNA dengan menggunakan rangkaian Sequencing 16S menunjukkan bahwa sedikitnya ada enam spesies berbeda dari bakteri gram positif-Coccus yang dapat digolongkan sebagai mikroorganisme patogen bagi ikan. yaitu a Lactococcus garvieae syn. Enterococcus seriolicida b Lactococcus piscium c Streptococcus iniae syn S. Shiloi d Streptococcus agalactiae syn S. Difficile e Streptococcus parauberis f Vagococcus salmoninarum Pemicu Infeksi Jalur utama penyebaran penyakit ini terjadi melalui ikan yang terinfeksi, air yang terkontaminasi dan pemberian pakan rucah yang tidak baik. Meskipun penyakit ini mengakibatkan kematian pada ikan dengan ukuran kecil dari 10 gr. Ikan diatas 100 gr juga rentan terinfeksi penyakit ini. wabah dapat muncul di sepanjang tahun, namun biasanya diawali dengan stres lingkungan pada ikan, sebagai contoh, dikarenakan padat tebar yang terlalu tinggi dan perubahan pada kualitas air. Serangan bakteri ini berkaitan erat dengan pertumbuhan cepat bakteri Streptococcus di dalam saluran usus dimana cairan toksin baik extracellular maupun intraselular dihasilkan Kusuda et al., Kimura dan Kusuda, 1979,1982. Komoditas ikan budidaya di Asia yang rentan terhadap infeksi penyakit Streptococcosis ini adalah sebagai berikut Eleutheronema tetradactylum Seabream Sparus spp. Tabel. Komoditas budidaya ikan laut yang rentan terinfeksi oleh Streptococcus sp Sumber Intervet Gejala Klinis Pada ikan kakap putih gejala klinis ikan yang terserang penyakit Streptococcosis adalah operculum insang kemerahan, daerah sekitar anus berwarna kemerahan, adanya penimbunan cairan pada rongga perut, perdarahan pada hati, ginjal bengkak dan exophtalmia. Penyakit Streptococcosis selain sangat potensial merugikan juga merupakan penyakit yang bersifat zoonosis. Penyakit ini telah banyak mengakibatkan kerugian berupa kematian baik pada ikan kakap putih ukuran benih maupun pada ukuran konsumsi. Gejala Klinis Ikan yang terinfeksi Streptococcosis adalah sebagai berikut − Sikap berenang yang tidak normal, ikan yang terinfeksi akan menunjukkan sifat malas berenang, memperlihatkan gerenang memutar atau seperti memiliki arah renang yang tidak beraturan. − Luka di mata, dapat bersifat Unilateral atau bilateral exophthalmia popeye, kornea mata buram, dan mata mengalami pendarahan − Luka di Kulit, Warna kulit yang menghitam merupakan gejala klinis umum pada ikan yang terinfeksi. Pendarahan yang mungkin ada di seluruh permukaan tubuh terutama di daerah sirip dan ekor. − Septicaemia di bagian dalam, limpa dan ginjal membesar serta hati mengalami pendarahan. Gambar . Gejala klinis umum ikan terinfeksi penyakit Streptococcosis, yakni pop eye dan badan menghitam disertai dengan pembengkakan gelembung renang. Selanjutnya Panigoro 2006 juga menyatakan gejala klinis yang tampak pada ikan nila yang terserang Streptococcus iniae adalah kumpulan cairan dalam rongga perut dan usus, mata bengkak, bercak hijau/kebiruan pada hati dan selaput hati menjadi tipis serta ginjal belakang mengalami pelebaran. Pada pembenihan ikan kakap putih kematian akibat serangan S. iniae berada pada kisaran 50-60 %. Faktor pemicu munculnya wabah penyakit tersebut diantaranya adalah kepadatan tinggi, kualitas air tidak bagus, pemberian pakan yang berlebihan dan kondisi kekebalan tubuh ikan yang rendah. Menurut Hari Maryadi 2009, Perubahan makroskopis atau patologi anatomi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae berupa lesi pada area injeksi, warna tubuh menjadi gelap, haemorhagi pada bagian bawah operkulum, perut bengkak, sisik rontok, gelembung renang relatif lebih besar, hati bengkak dan pucat, limpa bengkak dan empedu bengkak. Pada kelompok normal tidak terjadi perubahan. Perubahan histopatologi pada ikan Kerapu Macan yang diberi perlakuan infeksi S. iniae terjadi pada organ insang, otak, jantung, hati, ginjal, limpa dan usus. Perubahan histopatologi tersebut berupa degenerasi, nekrosis, kongesti, hemoragi, edema, dan radang. Infeksi Flexibacter maritimus Karakteristik Flexibacter spp. merupakan bakteri berbentuk batang umumnya memiliki panjang 1-3 ”m dan lebar 0,5 ”m dan bersifat gram negative. Bakteri ini tidak memiliki flagella dan bergerak dengan meluncur, oleh karena itu Flexibacter spp sering juga disebut sebagai bakteri meluncur. Gejala klinis yang umum ditimbulkan antara lain terjadinya peradangan kulit disertai dengan bintik-bintik putih pada sirip ekor dan selanjutnya meluas ke arah kepala. Sirip ekor dan sirip anal dapat mengalami erosi berat, dan kulit akan mengalami borok berwarna putih keruh atau kelabu. Pada umumnya, insang ikan yang terinfeksi akan mengalami kerusakan yang ditandai dengan nekrosis pada ujung distal lamellae insang dan dapat meluas ke seluruh lamellae insang. Agen Penyebab Bakteri gram negative Flexibacter maritimus baca Tenacibaculum maritinum, dengan bentuk batang dan memiliki panjang 1-3 ”m. Bakteri ini tidak memiliki flagella dan bergerak dengan meluncur. Pemicu Infeksi Infeksi F. maritimus seringkali dipicu oleh kondisi stress yang umumnya ditimbulkan oleh suhu air yang tinggi 25-32⁰ C, padat tebar tinggi, luka dan kualitas air buruk kandungan oksigen terlarut rendah dan konsentrasi ammonia bebas meningkat. Gejala klinis Gejala klinis yang ditunjukan oleh infeksi Flexibacter sangat mudah dikenali dan berbeda antar spesies. Namun, lokasi terjadinya luka sangat bervariasi Bullock, 1971. Derajat penyakit, tipe, lokasi luka, dan virulensi spesifik terhadap strain dari bakteri Flexibacter yang menyebabkan infeksi tersebut McCarthy, 1975. Perlu diperhatikan bahwa, infeksi bakteri F. maritimus dapat berasosiasi dengan infeksi bakteri lain atau dengan parasit protozoa yang termasuk didalamnya. Luka yang ditimbulkan bakteri ini memiliki pinggiran kekuningan dan putih dengan disertai inflammasi ringan. Mulut ikan yang terinfeksi ditutupi dengan material lendir yang kekuning – kuningan. Tipe luka yang sama terjadi pada eel, trout, cyprinids, dan centrarchids. Luka pada insang berwarna putih hingga coklat Plumb, 1994. F. maritimus dapat terjadi sebagai infeksi primer tanpa menimbulkan stress signifikan kepada inang, namun infeksi bakteri ini lebih umum sebagai infeksi sekunder sebagai hasil dari kondisi lingkungan yang menimbulkan stress atau trauma. Pada kasus yang lain, penyakit ini berkembang sebagai infeksi akut seiring dengan semakin cepatnya kematian. Kondisi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan infeksi yang disebabkan oleh strain Flexibacter lainnya, seperti F. columaris. Hawke dan Thune 1992, menemukan bahwa dari 53 kasus infeksi oleh bakteri F. columnaris, 11% diantaranya menginfeksi bagian eksternal, 17% internal, dan 86% diantaranya merupakan kombinasi antara infeksi eksternal dan sistemik. Berdasarkan pengamatan, dari 53 kasus tersebut, 46 kasus merupakan infeksi campuran dengan bakteri lain. Infeksi Pseudomonas Karakteristik Pseudomonas merupakan bakteri berbentuk batang pendek, motil dengan flagella polar dan bersifat gram negatif. Penyakit yang juga dikenal sebagai pseudomonad hemorrhagic septicemia ini dilaporkan pertama sekali terjadi pada budidaya ikan kerapu E. tauvina di Malaysia. Agen penyebab Infeksi ini utamanya disebabkan oleh Pseudomonas sp dan berdampak pada budidaya ikan Kerapu Epinephelus spp Pemicu Infeksi Pseudomonas sp menginfeksi ikan ketika inang mengalami stress akibat kondisi lingkungan seperti perubahan suhu air yang tinggi, pada tebar tinggi, kualitas air yang buruk dan asupan nutrisi yang kurang Tendencia and Lavilla-Pitogo, 2004. Gejala klinis Ikan yang terinfeksi menunjukkan adanya luka pada permukaan tubuh dan pada kulit. Infeksi penyakit ini juga menyebabkan luka pada sirip dan ekor. Gejala klinis lainnya dari ikan yang terinfeksi Pseudomonas adalah eksophthalmia dan kerusakan pada kornea mata Penyakit Parasit Secara umum, parasit dapat didefinisikan sebagai organisma yang hidup pada organisme lain, yang disebut inang, dan mendapat keuntungan dari inang tersebut, sementara inang menderita kerugian. Metoda invasi parasit pada inang dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung pada jenis parasit. Ada jenis parasit yang menginvasi inang dengan cara kontak langsung, melalui rantai makanan, phoresis ataupun melalui penetrasi pada kulit inang. Beragam jenis parasit telah dilaporkan menjadi penyebab yang signifikan terhadap timbulnya penyakit pada budidaya ikan laut. Pada fase perbenihan dan pendederan, infeksi parasit umumnya disebabkan oleh protozoa, khususnya oleh ciliata Cruz-Lacierda and Erazo-Pagador, 2004, sementara pada fase perbesaran infeksi parasit lebih beragam. Untuk memberikan pemahaman tentang jenis infeksi parasit pada beberapa tahapan produksi ikan laut, maka pada Tabel 3, 4 dan 5 disajikan jenis parasit, wilayah infeksi dan gejala klinis yang ditimbulkan secara komprehensif . Tabel 3. Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit protozoa pada beberapa tahapan budidaya ikan laut di wilayah Asia Pasifik, Tingkat infeksi ditandai sebagai +++ = parah; ++ = moderat; + = ringan; - = umum diamati Sumber Tak Seng et al., 2006 Caligus spp Sea lice +++Zeylanicobdella arugamensisTidak ada gejala visual yang jelas, ikan yang terinfeksi akan berenang kepermukaan untuk mendapatkan oksigen, pembelahan lamella insangdan hyperlasiaMengalami Lethargy dipermukaan air, hemorhagik, penggerusan sisikdan kulit pada permukaan tubuh yang terinfeksi, hilang nafsu makan,insang rusak dan produksi mucus yang berlebihan, haemolysis, hyperanaemia dan hyperplasiaHilang nafsu makan, menggosokkan tubuh pada benda di sisi jaring,perilaku berenang yang tidak teratur, pergerakan operculum insangcepat, nekrosis pada kulit dan filamen insangTabel 4. Penyakit ikan yang disebabkan oleh plathyhelminthes pada beberapa tahapan budidaya ikan laut di wilayah Asia Pasifik. Data ini tidak menyertakan data di hatchery karna umum ditemukan. Tingkat infeksi ditandai sebagai +++ = parah; ++ = moderat; + = ringan; - = umum diamati Sumber Tak Seng et al., 2006 Tabel 5 Penyakit ikan yang disebabkan oleh parasit Crustacea dan lintah pada beberapa tahapan budidaya ikan laut di wilayah Asia Pasifik. Data ini tidak menyertakan data di hatchery karna umum ditemukan. Tingkat infeksi ditandai sebagai +++ = parah; ++ = moderat; + = ringan; - = umum diamati Sumber Tak Seng et al., 2006 Benedenia spp. +++ +++ +++Neobenedenia spp +++ +++ +++Pseudorhahdosynochus spp ++ ++ +Heterobothrium spp. +++ +++ +Heteraxine heterocerca +++ +++ +Pearsonellum corventum ++ ++ +Paradeontacylix spp. ++ ++ +Tidak ada gejala visual yang jelas, ikan yang terinfeksi akanberenang ke permukaan untuk mendapatkan oksigen,pembelahan lamella insang dan hyperlasiaMenggosokkan badan ke jaring, mengalami kerusakan padasisik di bagian kepala diatas mata, insang rusak, lethargy, hilang nafsu makan, produksi m ukus yang berlebihanTidak menunjukkan gejala khusus kecuali Lethargy, hilang nafsu makan, insang rusak dan anemiaInsang dan permukaan tubuhTubuh menghitam, perilaku berenang ti dak normal,menggosokkan badan ke jarring, insang rusak, lethargy danhilang nafsu makan, mata membengkak, hemoragik dannekrosis pada permukaan tubuhTubuh menghitam, menggosokkan badan ke jaring, insangrusak, lethargy, hilang nafsu makan, produksi mukus yangberlebihan Bagian ini akan sedikit mengulas parasit utama yang umum ditemukan dan dilaporkan pada budidaya ikan laut di Indonesia termasuk infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoik, yang meliputi Dinoflagellata, Trichodina sp, Cryptocaryon irritans dan kelompok Mikrosporidia, serta yang disebabkan oleh parasit non-protozoik, yang meliputi Trematoda monogenea, Trematoda digenea, Nematoda, Cespoda, dan Annelida. Infeksi yang disebabkan oleh parasit protozoa Pada dasarnya protozoa hidup bebas dan bersifat saprofitik, dan hanya pada kondisi tertentu menjadi bersifat parasit. Protozoa dapat bersifat sebagai parasit eksternal maupun internal dan dapat menggandakan diri baik di luar maupun di dalam tubuh inangnya. Parasit protozoa utama pada budidaya ikan laut diantaranya adalah dinoflagellata, ciliata, myxosporea dan Mikrosporidia. Dinoflagellata Dinoflagellata merupakan protozoa dengan ukuran tubuh berdiamater hingga 100 ”m dan mengandung khromatofor serta satu nukleus tepi. Pada saat berenang bebas, diameter tubuhnya hanya 20 ”m dan dikenal luas sebagai agensia penyakit beludru atau penyakit koral velvet disease. Spesies Dinoflagellata yang diketahui berperan sebagai patogen oportunis pada budidaya ikan laut adalah Amyloodinium ocellatum yang menyebabkan penyakit bintik putih di permukaan tubuh dan insang. Ikan yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis diantaranya dengan sekresi lendir yang berlebihan, menempelkan tubuhnya dan memiliki perilaku berenang yang tidak normal. Ikan yang terinfeksi juga selalu berkumpul di permukaan air atau di dekat sumber aerasi, penggelapan warna tubuh dan peningkatan tingkat respirasi. Gambar 2. Ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis dengan insang rusak yang disebabkan oleh Amyloodinium ocellatum Gambar dari Zafran et al., 2000. Trichodina sp Trichodina yang merupakan penyebab penyakit trikhodiniasis adalah protozoa dari kelompok ciliata yang memiliki bulu getar peritrikha dan bentuk bundar seperti cawan dengan diameter 50 ”m. Bulu getar yang dimiliki terangkai pada kedua sisi sel, dan memiliki makro serta mikronukleus. Infeksi yang disebabkan oleh parasit ini sangat umum ditemukan pada budidaya ikan laut sistem intensif dan telah dilaporkan terjadi pada budidaya ikan kerapu Epinephelus bleekeri, E. tauvina, E. malabaricus, E. suillus dan Cromileptes altivelis di Indonesia, Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia dan Thailand Cruz-Lacierda dan Erazo Pagador, 2004. Ikan yang terinfeksi akan menunjukkan gejala produksi mukus yang berlebihan, borok pada kulit, sirip rusak dan gangguan pernafasan pada insang. Pada skala berat, dapat terjadi hyperplasia sekunder dan hipertropi epitel pada insang. Penularan infeksi penyakit ini dapat dengan mudah terjadi melalui kontak langsung dengan ikan atau melalui air yang tekontaminasi. Cryptocaryon irritans Cryptocaryon irritans merupakan penyebab penyakit Cryptocaryonosis atau dikenal juga dengan penyakit bintik putih dikarenakan keberadaan beberapa atau sejumlah titik putih atau keabu-abuan pada permukaan tubuh dan insang pada ikan yang terinfeksi. Penyakit ini disebabkan oleh ciliate yang bergerak motile ciliates dan telah dilaporkan menginfeksi beberapa komoditas budidaya ikan laut di Indonesia, khususnya pada budidaya ikan kerapu Epinephelus bontoides, E. coioides, E. malabaricus, E. tauvina dan Cromileptes altivelis. Gejala umum yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi oleh parasit ini diantaranya adalah hilangnya nafsu makan, hemorhagi pada permukaan tubuh, mata exophthalmia dan perilaku berenang yang tidak normal. Ikan yang terinfeksi berat menunjukkan tingkat respirasi yang cepat, memproduksi mukus yang berlebihan dan menggosokkan badannya ke objek. Erosi pada kulit akan menghasilkan luka yang sangat rentan terhadap terjadinya infeksi sekunder Cruz-Lacierda dan Erazo-Pagador, 2004. Mikrosporidia Parasit-parasit dari kelompok Mikrosporidia memiliki ciri khas yaitu membentuk kista pada berbagai organ inang. Kista yang terbentuk mengandung spora-spora kecil yang berukuran 1 – 2 ”m. Diantara kelompok Mikrosporidia, yang termasuk kedalam parasit ikan dan mengancam keberlanjutan produksi budidaya ikan laut adalah Glugea sp yang dapat menyebabkan hipertrofi hypertrophy dan Pleistophora sp yang tidak menyebabkan hipertrofi. Parasit Glugea sp umumnya menginfeksi makrofag dan jaringan mesenkim dan selanjutnya menyebabkan hipertrofi dan berakibat pada deformitas organ-organ dalam seperti hati, saluran pencernaan dan ovarium. Sementara Pleistophora hyphessobryconis umum ditemukan pada ikan hias dengan cara menginfeksi sarkoplasma serabut-serabut otot sehingga menyebabkan serabut-serabut tersebut terisi oleh kista Pleistophora. Pada infeksi tersebut tidak terjadi hipertrofi atau reaksi inflamasi di sekitar kista Irianto, 2005 Infeksi yang disebabkan oleh parasit non-protozoa Agensia parasit non-protozoik meliputi beragam hewan antara lain dari fila Platyhelminthes, Aschelminthes, Acanthocephala, Annelida dan Arthropoda. Parasit pada golongan non-protozoa ini sangat beragam dari sisi morfologi, sifat, inang yang diinfeksi dan organ atau jaringan yang menjadi sasaran infeksi. Untuk ikan yang hidup bebas di alam, infeksi parasit non-protozoik umumnya bersifat laten atau kronis. Sementara pada ikan budidaya, walaupun akibat yang ditimbulkan sama, namun karena kondisi lingkungan pemeliharaan yang dilakukan dengan tingkat kepadatan tinggi menyebabkan parasit ini dapat lebih mudah menyebar ke seluruh populasi ikan sehingga pada akhirnya akan memungkinkan populasi mengalami infeksi sekunder baik yang disebabkan oleh bakteri, fungi maupun virus. Pada bagian ini akan dibahas parasit non-protozoa yang umum ditemukan pada budidaya ikan laut di Indonesia, diantaranya infeksi Benedenia, Neobenedenia, Diplectanum dan Haliotrema untuk kelompok Trematoda monogenea Jhonny et al., 2002, Caligus spp dan Rhexanella sp untuk golongan crustacean dan Microcotylid monogenea Novriadi et al, 2014 dan Lintah leeches, Hirudinea dari golongan Annelida Novriadi et al., 2014 Trematoda monogenea Trematoda monogenea merupakan parasit yang biasa disebut dengan cacing pipih. Monogenea umumnya menginfeksi insang, kulit dan sirip ikan dengan beberapa spesies diantaranya bahkan dapat menginfeksi rektum, uretra, rongga tubuh bahkan saluran pembuluh darah Irianto, 2005. Sebagian besar Trematoda monogenea bergerak dipermukaan tubuh inang dan memakan remah-remah bahan organik pada mukus kulit dan insang. Bagian anterior monogenea yang dilengkapi dengan kait memungkinkan parasit ini melekat pada inang sambil mengambil makanan dari tubuh inang. Tanda-tanda klinis yang ditimbulkan oleh infeksi parasit ini yaitu ikan menjadi letargik, berenang dekat permukaan air, bersembunyi pada salah satu sudut kolam pemeliharaan dan kehilangan nafsu makan. Kulit ikan yang terinfeksi oleh golongan Trematoda monogenea akan mengalami rontok sisik, luka dan mengeluarkan cairan kemerahan. Kondisi ini membuat ikan yang terinfeksi menjadi rentan terhadap infeksi sekunder oleh bakteri dan fungi. Infestasi berat akan menyebabkan gangguan pernafasan, insang bengkak dan pucat, laju pernafasan meningkat dan menjadi sensitif terhadap kandungan oksigen terlarut yang rendah. Dengan kondisi demikian, seringkali terlihat bahwa ikan yang terinfeksi akan muncul di permukaan air untuk mendapatkan oksigen, terutama pada ikan yang telah terinfeksi berat oleh parasit ini.  Diplectanum Parasit Diplectanum merupakan parasit Trematoda monogenea yang dapat menyebabkan tingkat kematian serius dan sering ditemukan pada budidaya ikan laut. Parasit Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogyridea yaitu mempunyai squamodisc satu di ventral dan satu di dorsal, dan sepasang jangkar yang terletak berjauhan Zafran et al., 1997. Parasit Diplectanum adalah parasit yang hidup pada insang ikan. Ikan laut yang terinfeksi oleh Diplectanum akan memeperlihatkan laju pernafasan yang lebih cepat dengan tutup insang yang selalu terbuka. Infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis. Insang yang terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan Chong & Chao, 1986. Ikan yang terinfeksi oleh parasit ini memperlihatkan gejala klinis, diantaranya adalah menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air dan warna tubuh berubah menjadi pucat. Gambar 3. Parasit Diplectanum Foto Balai Perikanan Budidaya Laut Batam  Benedenia Parasit Benedenia merupakan parasit umum yang menginfeksi komoditas budidaya ikan laut baik pada tahapan pendederan, perbesaran hingga pada tahapan calon induk dan induk. Parasit ini dapat menempel pada mata, permukaan tubuh dan insang ikan Cruz-Lacierda dan Erazo-Pagador, 2004 sehingga menyebabkan ikan yang terinfeksi selalu terlihat menggosok-gosokkan badannya kepada objek sekitar dan berkumpul di dekat sumber aerasi dengan perilaku berenang yang tidak teratur. Parasit ini dapat menyebabkan kebutaan bila menempel pada mata dan luka pada kulit yang menyebabkan ikan rentan terhadap infeksi sekunder. Gambar 4. Parasit Benedenia spp yang diambil dari permukaan tubuh ikan kerapu, a tahapan larva dan b tahapan dewasa Sumber foto Cruz-Lacierda dan Erazo-Pagador, 2004.  Haliotrema spp Parasit Haliotrema spp atau sering disebut cacing insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada budidaya ikan laut. Seperti parasit Diplectanum, parasit ini juga diidentifikasi dari preparat segar insang secara mikroskopis menggunakan mikroskop. Parasit ini dapat diidentifikasikan berdasarkan bentuk karakteristik morfologinya. Menurut laporan Zafran et al., 1998 parasit ini menjadi salah satu penyebab kematian massal pada ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis. Ikan yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernafasan. Gambar 5. Parasit Haliotrema spp sumber foto Tak Seng et al., 2006 Crustacea Parasit dari golongan crustacean umumnya adalah kelompok copepod dan sering dijumpai pada insang, tubuh maupun sirip ikan laut. Parasit crustacea tidak membutuhkan inang perantara untuk proses penyebaran penyakit dan mengalami proses moulting beberapa kali dari satu tahapan ke tahapan yang lain sebelum melakukan metamorphosis di tubuh inang yang sesuai. Jumlah parasit crustacean yang dilaporkan keberadaannya pada budidaya ikan laut sangat sedikit dan dilaporkan pada Tabel 5. Diantara parasit Crustacea tersebut, jenis yang utama menginfeksi komoditas budidaya ikan laut adalah Caligus spp. Gambar 5. Parasit Caligus spp. Foto Balai Perikanan Budidaya Laut Batam Lates calcarifer; Chanos chanos Mugil cephalus; Takifugu rubripes Epinephelus sp; L. calcarifer, Lutjanus johnii L. calcarifer; C. chanos; L. johni Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Epinephelus coioides; L. calcarifer Lutjanus johnii Tabel 6. Jenis-jenis parasit crustacean yang ditemukan pada budidaya ikan laut di Asia Tenggara sumber Woo et al., 2002 Annelida Diantara anggota annelida yang merupakan parasit bagi ikan adalah lintah leeches, Hirudinea. Lintah dapat ditemukan baik pada ikan liar maupun budidaya. Lintah memiliki dua cakram penghisap suckers pada bagian anterior dan posterior. Umumnya lintah memiliki daur hidup langsung dan memiliki tingkat patogenitas yang beragam, tergantung kepada jumlah dan ukuran parasit, lama pelekatan dan hewan inangnya. Hewan inang yang terinfeksi berat akan menderita anemia kronik, ikan menjadi lemah dan memungkinkan terjadinya infeksi sekunder oleh fungi atau bakteri terutama pada daerah luka bekas pelekatan parasit. Diantara spesies lintah, Zeylanicobdella arugamensis merupakan jenis yang umum ditemukan pada budidaya ikan laut di Indonesia Cruz-lacierda and Erazo-Pagador, 2004. Parasit berwarna coklat kehitaman ini menempel di beberapa bagian tubuh yang terinfeksi seperti di permukaan tubuh, sirip, mata, rongga pernafasan dan rongga mulut. Ikan yang terinfeksi parasit ini umumnya akan kehilangan nafsu makan, menunjukkan pergerakan yang lamban dan berenang di permukaan air. Penyakit Mikosis Secara umum, fungi yang merupakan kelompok organisme berfilamen dan bersifat eukaryotic heterotrofik cenderung berkembang pada lingkungan yang bersifat asam dengan pertumbuhan optimal pada pH 4 – 6. Adapun kisaran suhu untuk pertumbuhan fungi adalah 5 – 400 C, beberapa diantaranya bersifat psikrofilik yang tumbuh optimum pada suhu dibawah 50 C dan lainnya bersifat termofilik yang mampu tumbuh hingga suhu 500 C atau lebih. Fungi memiliki habitat hidup yang tersebar luas yaitu tanah, air tawar maupun air laut Irianto, 2005. Sejumlah fungi di perairan, umumnya bersifat saprofik, dimana fungi akan menjadi masalah bila ikan mengalami stress karna faktor lingkungan yang buruk, nutrisi yang buruk dan terdapat luka pada tubuh ikan. Kondisi tersebut akan menyebabkan ikan menjadi lemah atau jaringan menjadi rusak sehingga fungi dapat menginfeksi ikan. Gambar 6. Lesi nodul berwarna putih atau granuloma diamati pada jaringan otot Cromileptes altivelis Foto dari Zafran et al., 1998 Berdasarkan informasi yang dipublikasikan Warintek. 2001, terdapat dua penyakit yang disebabkan oleh jamur pada budidaya ikan laut, yakni Saprolegniasis dan Ichthyosporidosis. Infeksi Saprolegniasis disebabkan oleh fungi Saprolegni sp. Infeksi fungi ini menyebabkan perubahan warna pada kulit dan tumbuh jamur berwarna putih keabu-abuan yang makin lama akan semakin melebar dan pada akhirnya akan merusak otot ikan. Ikan yang terinfeksi sebaiknya dipisahkan dari koloni dan dimasukkan pada program karantina. Infeksi oleh fungi Saprolegnia sp ini jarang ditemukan terutama pada ikan yang memiliki sistem pertahanan tubuh kuat dan sehat. Penyakit mikosis lainnya adalah Ichthyosporidosis yang disebabkan oleh jamur Ichthyosporidium sp Ichthyophonus sp. Jamur ini berkembang mengikis jaringan luar bagian kepala dan menyebabkan luka yang dalam yang berwarna kemerah-merahan dan dapat masuk ke dalam sampai ke bagian tengkorak kepala ikan. Kadang-kadang juga ditemukan di bawah kulit dan jaringan epitel kulit dari jaringan organ yang penting misalnya insang, usus, hati dan jantung dalam bentuk gumpalan granula. Keberadaan ichthyophoniosis di Indonesia telah dilaporkan terjadi pada budidaya ikan kerapu bebek Cromileptes altivelis Catap and Lio-Po, 2004. Fungi ini diketahui telah menginfeksi sedikitnya 80 jenis ikan teleostei baik yang hidup di air tawar, laut maupun di lingkungan payau dan juga telah dilaporkan menginfeksi ikan yang hidup baik di zona tropis maupun zona dingin. 2012 2013 2012 2013 2012 2013Trematoda insang, Benedenia sp, Trichodina spTrichodina sp, Benedenia sp, Pseudorabdosynochus sp, Oodinium sp, Cryptocaryon spAeromonas sp, Vibrio alginolitycus V. vulnificus, Flexibacter sp, V. damsela, V. carchariaeVNN ,Iridovirus VNN ,IridovirusPseudomonas sp, , V. vulnificus, Aeromonas sp positif tidak diidentifikasi VNN ,Iridovirus VNN ,IridovirusCryptocaryon sp, Trematoda insangPseudomonas sp, Actinobacillus sppositif tidak diidentifikasi VNN ,Iridovirus VNN ,IridovirusTrichodina sp, Amyloodinium spHaliothrema sp, Pseudorabdosynochus sp, Trichodina sppositif tidak diidentifikasiV. damsela, Pseudomonas sp, V. alginolyticusTrematoda insang, Benedenia sp, Pseudorabdosynochus sp V. algonolitycus positif tidak diidentifikasi iridovirus iridovirus6Pulau Puhawang Trematoda insangV. alginolitycus, V. parahaemolitycusFlexibacter sp, V. vulnificus negatif VNNTrematoda insang, Cryptocaryon sp, Benedenia sp, Pseudorabdosynochus sppositif tidak diidentifikasiVNN ,Iridovirus VNN ,Iridovirus8Padang Cermin negatif Trematoda insang negatif V. vulnificusBAB III STATUS TERKINI PENYAKIT IKAN AIR LAUT DI INDONESIA Jenis Penyakit Data status terkini penyakit ikan air laut di Indonesia disajikan pada Tabel 7,8,9 dan 10 yang merupakan hasil pemantauan kesehatan ikan dan lingkungan yang dilakukan oleh BBPBL Lampung, BPBL Lombok, BPBL Batam dan BPBL Ambon dalam rentang tahun 2012 – 2013. Tabel 7. Distribusi penyakit pada budidaya ikan kerapu di Teluk Lampung Tahun 2012 – 2013 Sumber BBPBL Lampung Tabel 8. Distribusi penyakit pada budidaya ikan laut tahun 2012-2013 Sumber BPBL Lombok Tabel 9. Distribusi penyakit pada budidaya ikan laut tahun 2012-2013 Sumber BPBL Batam 1Lombok timur Kerapu bebek negatif negatif VNN, IridovirusDactylogyrus sp Vibrio anguillarum IridovirusMicrosporidia V. parahaemolyticus negatifYersinia ruckerii negatifnegatif Vibrio anguillarum IridovirusV. parahaemolyticus negatifKakap putih negatif negatif IridovirusBawal Bintang negatif negatif IridovirusClown fish negatif Pseudomonas sp negatif3Lombok Utara Kerapu bebek negatif negatif Iridovirus4Sumbawa Barat Kerapu bebek negatif negatif Iridovirus5Bali Kerapu bebek negatif negatif negatif6NTT Kerapu bebek negatif negatif negatif1Tiaw Wang Kang Kerapu Cantang Diplectanum sp Vibrio sp VNN2Pulau Setengah Bawal Bintang Diplectanum sp Vibrio sp Iridovirus3Selat nenek Trichodina sp4Sungai Boko Kerapu macan Diplectanum sp Vibrio sp VNN, Iridovirus5Selat nipah Kerapu Cantang Trichodina sp Vibrio sp negatif1Langkat-Sumatera Utara Kerapu lumpur Cryptocaryon irritans IridovirusTrichodina sp Flexibacter spCryptocaryon irritans Vibrio sp4Natuna Kerapu macan Benedenia sp Vibrio sp VNN Tabel 10. Distribusi penyakit pada budidaya ikan laut tahun 2012-2013 Sumber BPBL Ambon Hasil pemantauan menunjukkan bahwa parasit Trichodina sp, Benedenia sp, Diplectanum sp dan Cryptocaryon irritans menunjukkan insidensi dengan intensitas cukup tinggi pada budidaya ikan laut untuk komoditas ikan Kerapu Epinephelus sp, Kakap putih Lates calcarifer, Bawal Bintang Trachinotus blochii hingga ikan hias clown fish Amphiprion sp. Sementara infestasi Haliotrema sp, Amyloodinium sp, Uronema sp, Rhexanella sp, Pseudorabdosynochus sp dan caligus sp memiliki tingkat intensitas moderat. Selain infestasi parasit, kegiatan pemantauan juga mengidentifikasi keberadaan bakteri Vibrio alginolyticus, V. parahaemolyticus, V. fluvialis, V. vulnificus, V. damsela, V. anguillarum, V. harveyi, V. charchariae, Pseudomonas, Flexibacter sp, dan Yersinia ruckeri menjadi penyebab utama penyakit infeksi bakterial pada budidaya ikan laut. Kegiatan pemantauan juga menunjukkan bahwa infeksi nodavirus sebagai agen penyebab Viral Nervous Necrosis dan iridovirus telah diketahui menginfeksi hampir semua komoditas ikan laut penting di Indonesia. Analisis Resiko Analisis resiko didefinisikan sebagai sebuah media yang menyediakan informasi objektif, tertelusur dan menggunakan metoda yang didokumentasikan dengan baik bagi para pengambil kebijakan untuk melakukan penilaian terhadap resiko yang ditimbulkan oleh tindakan atau keadaan tertentu MacDiarmid, 1977. Analisis resiko akan berusaha untuk menjawab pertanyaan 1 apa penyebab sebuah masalah?; 2 bagaimana bisa terjadi permasalahan tersebut?; 3 apa konsekuensi dari permasalahan tersebut?; dan 4 apa tindakan yang dapat dilakukan untuk mengurangi konsekuensi dari permasalahan tersebut. Penyebab dari penyakit infeksius dan faktor pemicu terjadinya penyakit infeksius tersebut telah dibahas secara lengkap di Bab II, sementara tindakan untuk pengendalian secara khusus dibahas pada Bab IV. Pada bagian ini akan coba digambarkan dampak terjadinya penyakit infeksius tersebut pada satu sistem budidaya Benedenia sp Vibrio anguillarum IridovirusTrichodina sp Vibrio alginolyticus VNNCryptocaryon irritans Brooklynella sp6Banggai cardinalfish Cryptocaryon irritans Vibrio sp negatif7Kakap putih negatif negatif Iridovirus8Bawal Bintang negatif negatif Iridovirus Analisis resiko untuk penyakit pada budidaya ikan laut selama ini tidak terlalu mendapatkan perhatian yang serius dari banyak negara produsen akuakultur dunia Bondad-Reantaso et al., 2005. Hal ini sangat berbeda dengan perhatian yang diberikan untuk analisis resiko pada sektor perikanan lainnya seperti 1 Analisis resiko import IRA /Import Risk Analysis untuk penyakit infeksius atau patogen; 2 Hazard analysis and critical control point HACCP untuk keamanan pangan dan kesehatan masyarakat dan 3 Geoinformatics/ pemetaan resiko untuk bencana alam. Kondisi ini tentu saja menjadi dorongan bagi para pengambil kebijakan mengingat saat ini penyakit ikan sudah dapat dikategorikan menjadi salah satu faktor yang memiliki resiko tinggi dikarenakan frekuensi kemunculan dan tingkat penyebarannya telah berdampak kepada banyak sektor, tidak hanya dalam hal ekonomi dan dampak sosial yang ditimbulkan, tetapi juga investasi yang harus disediakan oleh para pelaku usaha budidaya untuk tindakan pengendalian penyakit dan berbagai program pengembangan lainnya. Beberapa aspek pengelolaan resiko pada sektor budidaya perikanan disajikan pada Tabel 11. Resiko manajemen dan operasional Penyusunan Standar Operasional Prosedur SOP/ Best Management Practices seperti good governance, Cara Budidaya Ikan yang Baik CBIB. Cara Perbenihan Ikan yang Baik CPIB, Pengelolaan obat dan pakan, Pengelolaan panen dan transportasi ikan yang baik, pengelolaan KJA sistem cluster, Asuransi Patogen/penyakit pada budidaya Import risk analysis; strategi nasional untuk penguatan kesehatan ikan, biosekuriti, monitoring dan surveillance hama penyakit ikan, Sistem deteksi dini, Pengelolaan Kesehatan Ikan yang Baik, Vaksinasi dan tindakan prophylactic lainnya Resistensi terhadap anti-mikrobial Vaksinasi, Aplikasi sistem pemeliharaan ikan yang baik dengan mengurangi pemakaian antibiotika Aquaculture Insurance, Geoinformatika Keamanan pangan dan kesehatan masyarakat HACCP, Good Management Practices [good aqua-culture practices GAP, good hygienic practices GHP, good manufacturing practices GMP], Pengendalian keamanan pangan dan Edukasi untuk konsumen Meningkatkan pemahaman para pekerja tentang resiko/bahaya dan keamanan kerja; menggunakan pakaian pelindung, menyediakan alat pertolongan pertama di tiap unit kerja, pengukuran yang tertelusur dan lainnya Kebijakan yang pro-aktif terhadap lingkungan Tabel 11. Contoh pengelolaan resiko pada sektor budidaya perikanan Sumber Bondad-Reantaso et al., 2005 Oleh karena itu, maka pada bagian ini akan dibahas analisa resiko dari keberadaan penyakit yang timbul pada budidaya ikan laut. Penyakit Viral Penyakit viral pada budidaya ikan laut di wilayah Asia Tenggara telah mengalami peningkatan sejak tahun 1980-an Nakai et al, 1995; Bondad Reantoso, 2001 dan menjadi salah satu hambatan utama dalam upaya peningkatan produksi. Tindakan pengendalian melalui pendekatan prophylactic merupakan salah satu kunci yang paling baik untuk dapat mencegah munculnya infeksi penyakit viral pada budidaya ikan laut. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 7,8, 9, dan 10 tentang distribusi penyakit diketahui bahwa Nadaviridae sebagai agen penyebab penyakit Viral Nervous Necrosis dan Iridovirus menjadi penyebab utama penyakit viral pada budidaya ikan laut di Indonesia. Viral Nervous Necrosis VNN Tingkat serangan VNN Viral Nervous Necrosis yang umumnya menyerang sistem organ syaraf mata dan otak Yuasa et al., 2001 ini dilaporkan telah menyerang sebagian besar budidaya ikan kerapu di Indonesia dengan tingkat kematian hingga 100% Putri et al., 2013. Bahkan Koesharyani et al. 2001 menjelaskan bahwa kematian akibat infeksi VNN ini dapat mencapai 100% pada stadia larva, namun tidak pada stadia juvenile dan fingerling ikan muda. Data yang diterima dari BPBL Ambon menyebutkan bahwa infeksi VNN pada benih Kerapu bebek Cromileptes altivelis dengan ukuran 5-6 cm digolongkan sebagai infeksi dengan tingkat mortalitas 50% pada ikan budidaya. Dalam keadaan tertentu, terutama apabila padat tebarannya tinggi, seringkali menyebabkan mortalitas hingga 100 % Irianto, 2005. Kondisi ini menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi bagi para pembudidaya ikan. Pada budidaya ikan Cobia di Jepang, wabah pertama yang terjadi akibat infeksi Vibriosis dilaporkan pada tahun 2000 Rajan et al., 2001 dan telah menyebabkan kematian hingga 45% dari padat tebar awal Infeksi Pseudomonas Dua puluh hingga enam puluh persen tingkat mortalitas dapat diamati pada populasi ikan yang terinfeksi. Umumnya ikan yang terinfeksi memiliki gejala klinis seperti hemoragik septicemia, hemoragik pada insang dan ekor dan borok pada kulit. Infeksi Flexibacter sp. Berdasarkan data distribusi penyakit, infeksi Flexibacter sp ini ditemukan pada komoditas Kakap putih dengan tingkat mortalitas hingga 30 %. Publikasi yang dilakukan oleh Gibson-Kueh 2012 menyatakan bahwa infeksi Flexibacter spp pada ikan kakap putih yang berasosiasi dengan penyakit sistemik lainnya dapat menyebabkan tingkat mortalitas hingga lebih dari 50%. Pada ikan kerapu, tingkat mortalitas bahkan dapat mencapai hingga 80% dalam beberapa hari jika ikan tidak diobati. Bakteri ini dapat menghancurkan wilayah ekor ikan dalam waktu dua hari. Infeksi Yersinia ruckeri Berdasarkan data distribusi penyakit, infeksi Y. ruckeri ini ditemukan pada komoditas Kerapu bebek dengan tingkat mortalitas rendah 60% utamanya pada ikan Kerapu dan clown fish. Sementara infestasi Amyloodinium sp berdampak pada tingkat kelulushidupan ikan budidaya pada fase benih dan induk dengan tingkat mortalitas mencapai 60%. Infeksi Parasit Non-Protozoa Infestasi parasit Benedenia sp sering mengakibatkan kematian pada ikan kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus dengan tingkat mortalitas 40 – 50% akibat keterlambatan dan ketidaksesuaian tindakan pengendalian yang dilakukan oleh pembudidaya. Kematian tinggi akibat infestasi parasit non-protozoa juga disebabkan oleh Diplectanum sp. yang dapat menyebabkan moratlitas hingga 50% bila parameter kualitas air yang berkaitan dengan konsentrasi ammonia mengalami peningkatan yang nyata Novriadi, 2014. Berdasarkan laporan dari Agis 2009, nilai prevalensi tertinggi untuk jenis parasit yang menginfeksi benih yang diambil dari KJA perairan pulau semak daun disebabkan oleh parasit Diplectanum dengan tjumlah 53,33 %. Hal ini berarti bahwa untuk komoditas budidaya ikan kerapu, mulai dari fase benih sudah cukup rentan terinfeksi oleh parasit Diplectanum bila kondisi perairan terdegradasi dan memiliki jumlah bakteri yang cukup besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chong & Chao 1986, yang mengatakan bahwa infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis. V. Daftar Pustaka Aldeman, dan Hastings, 1998. Antibiotic use in aquaculture development of antibiotic resistance-potential for consumer health risks. Int. J. Food Sci. Technology 33 139-155. Austin, B dan Austin 1999. Bacterial fish pathogens, Diseases of farm and wild fish. 3rd revised edition. Springer-Praxis, Goldaming. Bondad-Reantaso, Subasinghe, Arthur, Ogawa, K., Chinabut, S., Adlard, R, Tan, Z. & Shariff, M. 2005. Disease and health management in Asian aquaculture. Vet. Parasitol. 132249-272. Busch & Lingg 1975 Establishment of an asymptotic carrier state infection of enteric redmouth disease in rainbow trout Salmo gairdneri. Journal of the Fisheries Research Board of Canada 32 2429-2432. Cabello, 2006. Heavy use of prophylactic antibiotics in aquaculture a growing problem for human and animal health and for the environment. Environ Microbiol 8 1137-1144. Cao, L., W. Wang, Y. Yang, C. Yang, Z. Yuan, S. Xiong and J. Diana. 2007. Environmental impact of aquaculture and countermeasures to aquaculture pollution in China. Environmental Science in Pollution Res 14 7 452 – 46 Chong, and Chao. 1986. Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries Handbook No. 2. Primary Production Departement. Ministry of National Development. Republic of Singapore. 33p. Colorni, A. 1987. Biology of Cryptocaryon irritans and strategies for its control. Aquaculture 67 236-237 Dan, Lin, Yan, N. Teng, Tan, and Li. 2009. A technique for the preservation of Cryptocaryon irritans at low temperatures. Aquaculture 297 112–115. Danayadol, Y., Direkbusarakom, S., Boonyaratpalin, S., Miyazaki, T. and Miyata, M. 1997. Iridovirus infection in brown-spotted grouper Epinephelus malabaricus cultured in Thailand. In Flegel, and MacRae, eds Diseases in Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society. Manila. Defoirdt, T., Bossier, P., Sorgeloos, P. and Verstraete, W. 2005. The impact of mutations in the quorum sensing systems of Aeromonas hydrophila, Vibrio anguillarum and Vibrio harveyi on their virulence towards gnotobiotically cultured Artemia franciscana. Environmental Microbiology 7 8 1239–1247. Dickerson, 2006. Ichthyophthirius multifiliis and Cryptocaryon irritans Phylum Ciliophora. Pages 116–153 In Woo, ed. Fish diseases and disorders protozoan and metazoan disorders. 2nd ed. CAB International. Cambridge, MA. Fris Johnny dan Des Roza, 2009. Kasus infeksi irido pada benih ikan kerapu pasir, Epinephelus corralicola di hatchery. Jurnal Perikanan J. Fish . Sci. XI 1 8-12 Gibson-Kueh, S. 2012. Diaseases of Asian Seabass or Barramundi, Lates calcarifer Bloch. Thesis. Murdoch University. Australia. Hill, 2005 The need for effective disease control in international aquaculture. Dev. Biol. Basel 121 3–12. Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kasornchandra, J. and Klongpradit, R. 1997. Iolation and preliminary characterization of a pathogenic iridovirus in nursing grouper, Epinephelus malabaricus. In Flegel, and MacRae, eds Diseases in Aquaculture III. Fish Health Section. Asian Fisheries Society. Manila. Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Pusat Data, Statistik dan Informasi KKP. Jakarta. Kusuda, R., Kawai, T., Toyoshima, T. dan Komatsu, I. 1976. A new pathogenic bacterium belonging to the genus Streptococcus isolated from an epizootic of cultured yellowtail. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish 42 1345-1352 Koesharyani, I., D. Roza., K. Mahardika, F. Jhonny, Zafran, dan K. Yuasa. 2001. Penuntun Diagnosa Penyakit Ikan II. Penyakit Ikan Laut dan Krustacea di Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut Gondol-Singaraja. 49 pp. Krovacek, K., Faris, A., Ahne, W., and Mansson, I. 1987 Adhesion of Aeromonas hydrophila and Vibrio anguillarum to fish cells and to mucus-coated glass Microbiol Lett 42 85-89. Kusumastanto, T. 2003. Pemberdayaan Sumberdaya Kelautan, Perikanan dan Perhubungan Laut dalam Abad XXI. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Leong, 1994. Parasites and diseases of cultured marine finfish in southeast asia. Universiti Sains Malaysia, 25 pp Leong, and Colorni, A. 2002. Infectious diseases of warmwater fish in marine and brackish waters. In Woo, Bruno, Lim, Diseases and disorders of finfish in cage culture. CABI publishing. United Kingdom. MacDiarmid, 1997. Risk analysis, international trade, and animal health. In Fundamentals of risk analysis and risk management V. Molak, ed.. CRC Lewis Publishers, Boca Raton, 377-387. Mahardika, K., Zafran, D. Roza, F. Johnny, A. Prijono. 2002. Studi pendahuluan penggunaan vaksin iridovirus inaktif vaksin pada juvenile kerapu lumpur, Epinephelus coioides. Laporan Hasil Penelitian DIP 2002 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Gondol. Mangunwiryo, H. 1990. Pengenalan Penyakit Virus pada Ikan dan Udang serta Kemungkinan Pengendaliannya. Seminar Nasional II Penyakit Ikan dan Udang Tanggal 16 – 18 Januari 1990. Balai Penelitian Perikanan Air Tawar Bogor. Hal. 1 – 9. Nakajima, K., Maeno, Y., Fukudome, M., Fukuda, Y., Tanaka, S., Matsuoka, S. and Sorimachi, M. 1995. Immunofluorescence test for the rapid diagnosis of red seabream iridovirus infection using monoclonal antibody. Fish pathology 30 115-119. Nakajima, K., Maeno, Y., Kurita, J. and Inui, Y. 1997. Vaccination against red seabream iridoviral disease in red seabream. Fish pathology 18 99-101 Pedersen, K., and Larsen, 1998 Characterization and typing methods for the fish pathogen Vibrio anguillarum. In Recent Research Developments in Microbiology. 2 17-93. Plumb, Schachte, Gaines, Peltier, W., dan Carrol, B. 1974. Streptococcus sp from marine fish along the Alabama and northwest florida coast of the Gluf of Mexico. Trans. Am. Fish. Soc 103 358 – 361. Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. Publications Inc. USA. 288 pp. Putri, Yanuhar, U. dan Suryanto, 2013. Perubahan struktur jaringan mata dan otak pada larva ikan kerapu tikus Cromileptes altivelis yang terinfeksi Viral Nervous Necrosis VNN dengan pemeriksaan Scanning Electron Microscope SEM. MSPi Student Journal 1 1-10 Schubert, G. 1987. Fish Diseases a Complete Introduction. Publications Inc. USA. 125 pp. Smith, and Noga. 1992. General Parasitology. In Fish Medicine. Stoskopf, ed. Saunders Co. Philadelphia, PA. Subasinghe, R. dkk. 2001. Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the third millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third millennium Subasinghe, et al., eds. pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA Subasinghe, R. 2009. Disease control in aquaculture and the responsible use of veterinary drugs and vaccines the issues, prospects and challenges. In Rogers C. ed., Basurco B. ed.. The use of veterinary drugs and vaccines in Mediterranean aquaculture. Zaragoza CIHEAM, 2 009 . p. 5-11 Option s MĂ©diterranĂ©ennes SĂ©rie A. SĂ©minaires MĂ©diterran Ă©ens; n . 86 Sukadi, F. 2004. Kebijakan Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan dalam Mendukung Akselerasi Pengembangan Perikanan Budidaya. Dalam Prosiding Pengendalian Penyakit pada Ikan dan Udang Berbasis Imunisasi dan Biosecurity, Unsoed Purwokerto. Hal 1 – 7. Toranzo, Magarinos, B., Romalde, 2005. A review of the main bacterial fish diseases in mariculture systems. Aquaculture 246 37– 61 Trobos. 2011. Vaksin ikan digadang tapi belum dipercaya. Akses Tanggal 12 Juli 2014. Turker, H., Yıldırım, A. B. and Karakaß, F. P. 2009. Sensitivity of Bacteria Isolated from Fish to Some Medicinal Plants. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 9 181- 186 DOI Valtonen RintamĂ€ki P. & Koskivaara M. 1992 Occurence and pathogenicity of Yersinia ruckeri at fish farms in northern and central Finland do wild fish serve as a source of infection? Journal of Fish Diseases 15 163-171. Warintek. 2001. Pedoman teknis penanggulangan penyakit ikan budidaya laut. Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta. Woo, Bruno, Lim, 2002. Diseases and disorders of finfish in cage culture. CABI publishing. United Kingdom. pp. 203 Yuasa, K.,D. Roza, F. Johnny, and K. Mahardika. 2000. General Remarks on Fish Disease Diagnosis. Pp. 5-18. Textbook for the Training Course on Fish Disease Diagnosis. Lolitkanta-JICA Booklet Yuasa, K., I. Koesharyani, D. Roza, F. Jhonny, and Zafran. 2001. Manual for PCR Procedure; Rapid diagnosis on Viral Nervous Necrosis VNN in Grouper. Lolitkanta-JICA Booklet No. 13, 35 pp Zafran, I. Koesharyani dan K. Yuasa. 1997. Parasit Pada Ikan Kerapu di Panti Benih dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. III416-23. ... al 2010. Sistem pemeliharaan ikan dengan kepadatan tinggi dan kualitas air yang buruk dapat memicu stres pada ikan yang akan memengaruhi kesehatan ikan Novriadi et al. 2014. Salah satu penyakit patogen pada ikan lele sangkuriang adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Maqsood et. ...Ketahanan ikan lele sangkuriang, Clarias gariepinus Burchell 1822 terhadap Aeromonas hydrophila pasca pemberian ekstrak daun kelor Moringa oleifera L. melalui pakan [The resistance of sangkuriang catfish Clarias gariepinus Burchell 1822 against Aeromonas hydrophila bacteria given moringa leaf extracts Moringa oleifera L. through the feed] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi yang efektif dari ekstrak daun kelor untuk menginduksi keta-hanan tubuh ikan lele sangkuriang terhadap serangan bakteri Aeromonas hydrophila. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental Rancangan Acak Lengkap dengan enam perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan penelitian yang digunakan adalah penambahan ekstrak daun kelor ke dalam pakan dengan konsentrasi 0 ppm A, 100 ppm B, 125 ppm C, 150 ppm D, 175 ppm E dan 200 ppm F. Parameter yang diamati meliputi jumlah total sel darah, peningkatan jumlah sel darah putih, gejala klinis, dan sintasan. Data peningkatan jumlah sel darah putih dan sintasan dianalisis menggunakan uji F dan uji jarak berganda pada taraf kepercayaan 5%, sedangkan data gejala klinis diana-lisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak daun kelor efektif untuk menginduksi ketahanan tubuh lele sangkuriang. Konsentrasi 150 ppm menghasilkan rata-rata jumlah sel darah putih tertinggi 23,46±6,46% dan setelah diuji tantang tidak menunjukkan gejala klinis, serta tingkat sintasan yang tertinggi sebesar 80,0±5,00%. Berdasarkan analisis regresi konsentrasi ekstrak daun kelor memberikan pengaruh sebesar 95,62% dengan konsen-trasi optimum sebesar 153,95 ppm terhadap sintasan ikan lele sangkuriang setelah di uji tantang dengan Aeromonas hydrophila. Kata penting ekstrak daun kelor, gejala klinis, ketahanan lele, sintasan, sel darah putih. Abstract This study aims to reveal effective concentration of moringa leaf extract which is inducing body resistance of sangkuriang catfish against Aeromonas hydrophila. This study used as experimental method of completely randomized design CRD with six treatments and three replications. The treatment used in this research were the addition of moringa leaf extract into feed with concentration of 0 ppm A, 100 ppm B, 125 ppm C, 150 ppm D, 175 ppm E and 200 ppm F. Observed parameters were total leukocyte count, increase in leukocyte, clinical sign and survival rate. Increase in leukocyte and survival rate data were analyzed using F test and Duncan test with significance level while clinical sign data was analyzed descriptively. The results showed that moringa leaf extract was effective to induce the immune of sangkuriang catfish. The treatment of 150 ppm has the highest total leukocyte count of ± and didn't have clinical symptoms after challenge with Aeromonas hydrophila and the highest survival rate ± Based on the regression analysis, ppm of Moringa leaf extract is the optimum concentration with on the survival of sangkuriang catfish after challenge with Aeromonas paper describes how disease has become a primary constraint to sustainable aquaculture production and product trade. It provides specific examples of the impacts of transboundary aquatic animal diseases on international trade, as well as socio-economic and biodiversity implications. Different measures to deal with diseases of fish and shellfish are also enumerated in terms of international codes, regionally oriented guidelines, national programmes and legislation with specific examples from both developing and developed countries, technology for diagnostics, therapy and information communication. Approaches to aquatic animal health management covering generic good husbandry, prevention and control, systems health management and epidemiological approaches and disease surveillance and reporting systems are also discussed. Aquatic animal health management programmes carried out in different parts of the globe are evaluated with respect to efficacy of disease prophylaxis/control and pathogen detection/disease diagnostics, inherent problems with national legislation and international/regional codes, and the effectiveness of programmes on education, training and extension services. Health management problems that pose risks to rural small-scale aquaculture are discussed, and the need for special consideration of this aquaculture context is emphasized. The need for effective communication at all levels of the production system is also discussed. The roles of the private sector aquaculturists, industry associations, cooperatives etc.; professional societies; diagnosticians and researchers; and education, training and other related extension services in effective health management are also discussed. The roles of government at the regional and international levels, along with actions needed to address gaps in effective health management are also discussed. The importance of aquaculture in meeting increasing demands for aquatic animal production and it’s role in providing livelihood opportunities and economic security are underlined. These and the difficult options available for health management present a truly big challenge to all concerned. If maintained at present levels, major epidemics will continue to threaten many sectors, break out and impact the ultimate goal of aquaculture sustainability. Harry Wilson DickersonThis book is the second edition of the first of three proposed volumes on diseases and disorders in freshwater and marine fishes fin and shellfish. Since the publication of the first edition, a tremendous volume of research has been conducted on parasites, especially those that cause morbidity and mortality in fish. Like the first edition, this book deals with parasitic infections caused by protozoans and metazoans and each chapter deals with a specific disease/disorder or a group of closely related diseases. Its primary objective is to produce a comprehensive and authoritative review from experts who are actively working in the area or have contributed to the understanding of fish diseases/disorders. Significant changes to this second edition include the addition of three new chapters and four of the original chapters have new authors. All other chapters have been thoroughly updated since the first edition was published in 1995. The book will be of significant interest to researchers and students of aquaculture, fisheries, parasitology and veterinary completely revised and updated edition of Bacterial Fish Pathogens is a comprehensive discussion of the biological aspects of the bacterial taxa which cause disease in fish. Since the 3rd edition was published in 1999, much has changed in the control of disease of farmes and wild fish. New pathogens such as Pasteurella skyensis have been described, and antimicrobial compounds for the control of disease have been replaced by alternative methods, such as probiotics. Consideration is given to all the bacterial taxa which have at some time been reported as fish pathogens, whether they are secondary invaders of already damaged tissues or serious, primary pathogens. Bacterial Fish Pathogens *provides up-to-date information on all the bacterial fish pathogens *covers all aspects of the biology of the bacterial fish pathogens *details comprehensive diagnostic and identification schemes *covers new developments on long-established diseases, such as furunculosis and vibriosis *considers alternative methods of disease control, such as the use of probioticsThe effectiveness of vaccination against red sea bream iridoviral disease RSIVD was evaluated using two kinds of vaccines in red sea bream Pagrus major. For one vaccine, RSIV-infected GF cells were inactivated with formalin v/v for 10 days at 4°C and for the other the cell culture supernatant of RSIV-infected GF cells was inactivated with formalin v/v for 10 days at 4°C. Juvenile red sea bream were intraperitoneally injected with vaccines and after 10 days the fish were RSIV-challenged by intraperitoneal injection. Statistical analysis showed significantly high survival rates in the vaccinated groups than that of the respective control groups, indicating the protection is induced by the vaccination. In addition, the expression of the virus specific antigens in the spleen was examined for vaccinated and control fish after RSIV challenge by immunofluorescence test. The result that the expression of antigens was weaker in the vaccinated fish compared with the control fish supported the efficacy of the Kusuda Kenji KawaiToshio ToyoshimaIsao KOMATSUDuring the period from late July through September 1974, an epizootic occurred among cultured yellowtails in Tosashimizu Bay in Kochi Prefecture. The typical symptoms of the disease were bilateral exophthalmos Fig. 1, petechiae on the inside of the opercula and congestion of the pectoral and caudal fins. Internally there was congestion and haemorrhagia of the intestine, liver, spleen and kidney. Tne causative organism was Gram-positive, nonsporing ovoid cells occurring in short chains and about Fig. 2. Growth occurred at 10-45°C and optimum temperature appeared to be 20-37°C. Optimum salt concentration for growth was 0%, and growth occurred at the concentration range of Optimum pH for growth was about The organism was inert to production of ammonia, gelatinase, urease, indol and hydrosulfide, and to reductions by methylene blue, litmas milk and nitrate. Catalase, starch hydrolysis, cytochrome oxdase, casein digestion and PT test were negative. MR test, VP reaction and TTC reduction were positive. Because of the growth in NaCl, at pH and in methylene blue milk, the organism was placed in the genus Streptococcus, group III. The organism was found to be not identical in its biochemical characteristic and pathogenicity to fish to any formerly established species of the genus Streptococcus. Kazuhiro NakajimaYukio MaenoMikio FukudomeMinoru SorimachiBy using indirect immunofluorescence IF test with a monoclonal antibody MAb against red sea bream iridovirus RSIV, the detection method of the RSIV specific antigen was examined from imprints or frozen sections of spleens of artificially infected red sea bream Pagrus major. Immunofluorescence-positive cells were not detected from uninfected fish and those of day 1 and 3 post infection. However, a few IF-positive cells were detected from day 5 post infection and many IF-positive cells including typically enlarged cells were detected from moribund or dead fish. This method was applied to 11 species of cultured marine fishes that showed disease condition or suspected iridovirus infection. The IF-positive cells were detected from all these naturally infected fishes of 11 species. The detection rate of infected fish by IF test using MAb was much higher than that by the currently used Giemsa staining method. The results indicate that the IF test using the RSIV specific MAb is a rapid and effective method for confirmative diagnosis of the iridovirus infection in cultured marine fishes. Semutyang dibuang tersebut biasanya memanjat ke puncak tanaman terdekat, mencengkeram batang, dan mati. Ketika jamur matang, tubuh buahnya keluar dari kepala semut, menyebarkan spora pada angin untuk menginfeksi inang lainnya. 7. Wolbachia, bakteri pengubah kelamin . Bakteri Wolbachia sepertinya tidak suka dengan jantan. NilaiJawabanSoal/Petunjuk VIBRIO Salah satu jenis bakteri yang memiliki habitat alami di laut ASAM ...ai kegunaan misal dalam bidang kedokteran sebagai bakterisida, dalam laboratorium sebagai zat awal dalam banyak sintesis organik, dalam industri untuk... GURITA Hewan Bertentakel HIU Hewan laut PENYU Hewan laut, sejenis kura-kura IKAN Hewan laut TERIPANG Hewan laut NUS Hewan laut sejenis cumi-cumi UBURUBUR Hewan laut bertentakel CUMI ...-... nama hewan laut DOLPHIN Kata inggris hewan laut sirkus KUDALAUT Salah satu jenis hewan laut PAUS Hewan laut yang bernapas dengan paru-paru KEPITING Hewan yang ada di laut, mempunyai capit ANTRAKS Penyakit bakteri yang ditularkan hewan ternak HARPUN Peluru tombak untuk berburu hewan laut besar MANFAAT Kerang laut adalah hewan terkenal yang menghasilkan
 AMFIBI Hewan yang bisa hidup di darat dan laut ZOOBENTOS Bio hewan yang hidup dalam danau atau laut PUNYADIA Hewan laut sejenis gurita, yang saat terancam bahaya mengeluarkan tintanya, pasti
 LAGIMALU Hewan laut yang jalannya miring dan bersembunyi di batu atau pasir biasanya UBUR ...-... nama hewan laut yang sering ditangkap oleh dia dan temannya dengan jaring PARAMESIUM Hewan bersel satu, berbentuk sandal, berbulu getar, dan hidup di air tawar atau laut BERONOK Hewan laut berbentuk bulat memanjang, hidup di perairan pantai berpasir dan padang lamun; teripang; Holothuria scabra STEROL Kim alkohol tidak jenuh, ditemukan dalam alam pd setiap hewan dan sel tumbuhan kecuali sel bakteri yang memainkan peranan penting dalam metabolisme
Bakteriyang menginfeksi hewan laut: VIBRIO; Teluk di bagian selatan pulau Sulawesi: BONE; Bulan: LUNAR; Pembohong (Inggris): LIAR; Lapisan putih keras pelindung mahkota gigi: EMAIL; kalian dapat menjawab semua pertanyaan yang ada di TTS Pintar 2019/2020 dengan mudah. Masih banyak sekali Tips & Tutorial Game yang belum kami berikan untuk
NilaiJawabanSoal/Petunjuk SUMBER 1 tempat keluar air atau zat cair; mata air ia mengambil air di -; di laut sekitar pulau itu ditemukan - minyak; 2 asal dalam berbagai arti i... GURITA Hewan Bertentakel HIU Hewan laut PENYU Hewan laut, sejenis kura-kura IKAN Hewan laut TERIPANG Hewan laut NUS Hewan laut sejenis cumi-cumi UBURUBUR Hewan laut bertentakel CUMI ...-... nama hewan laut NYAMUK Hewan penyebar virus zika VIBRIO Bakteri yang menginfeksi hewan laut DOLPHIN Kata inggris hewan laut sirkus KUDALAUT Salah satu jenis hewan laut PAUS Hewan laut yang bernapas dengan paru-paru KEPITING Hewan yang ada di laut, mempunyai capit AIDS Sekumpulan gejala atau infeksi akibat virus HIV CACAR Infeksi yang disebabkan oleh virus Varicella zoster HARPUN Peluru tombak untuk berburu hewan laut besar MANFAAT Kerang laut adalah hewan terkenal yang menghasilkan
 VIROSIS Dok penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus AMFIBI Hewan yang bisa hidup di darat dan laut ZOOBENTOS Bio hewan yang hidup dalam danau atau laut EBOLA Salah satu nama penyakit menular akibat infeksi virus mematikan PUNYADIA Hewan laut sejenis gurita, yang saat terancam bahaya mengeluarkan tintanya, pasti
 LAGIMALU Hewan laut yang jalannya miring dan bersembunyi di batu atau pasir biasanya . 210 395 244 216 199 35 450 158

bakteri yang menginfeksi hewan laut tts